Salt Tea on January
Gadis berdarah dingin itu duduk berpangku tangan di beranda vila merajut kasih bersama malam. Bola matanya memandang pada suatu titik yang tak pasti. Angin pantai terus memainkan rambut hitamnya yang panjang nan berkilau. Meski deru busa lautan semakin bising tak terusik sedikitpun telinganya. Hatinya yang selalu sepi dalam keramaian mencoba mencari celah kedamaian. Ia selalu resah dalam ketenangan. Entah apa yang membuat dirinya selalu cemas dan ketakutan. Keberadaan teman-teman di sekelilingnya malam ini pun tak bisa menghangatkan perasaannya. Senyumnya begitu tawar nan hambar dalam balutan canda tawa.
***
“Elita, kita pulangnya lewat bi Juju ya?”, ajak Wulan. Elita hanya terdiam bingung dengan sikap sahabatnya yang tiba-tiba berubah. Padahal sejak tadi Wulan mendiamkannya tak mengajak bicara sedikitpun. Namun, dengan sigap Elita langsung menganggukkan kepalanya tanpa protes. Ia pun seperti biasa mengekor sahabat karibnya. Perjalanan mereka menuju asrama begitu hangat meski gerimis membasuh bumi ilmu. Mereka berdua berceloteh dengan topik yang cukup renyah. Mulai dari cerita di sekolah, teman-teman yang usil dan kelucuan ustadznya yang suka ngelaba di saat murid-muridnya mulai jenuh dan lelah.
Ketika sampai di depan warung bi juju Elita spontan menundukkan kepala. Tak dinyana ia melihat seorang lelaki di depannya yang selama ini membuat dirinya salah tingkah. Lelaki itu berparas bulan dan sikapnyapun sangat sopan, tentunya menjadi dambaan setiap perempuan. Namun, entah mengapa perhatiannya hanya ditujukan pada Elita, gadis pemurung dan dingin terhadap lawan jenis. Ia menganggap bahwa mahluk yang bernama cowok itu perusak jiwa dan penghancur wanita. Namun, laki-laki itu telah membuat pikiran Elita memutar 180 derajat. Darinya ia bisa merasakan hangatnya uluran hati dari lawan jenis. Bahkan ia mampu membangun taman yang dipenuhi bunga-bunga cantik di hatinya.
Sore itu, ia menunggu sepupu laki-lakinya karna harus mengambil uang yang dititipkan oleh ibunya. Elita sendirian, karena Wulan sedang piket. Setengah jam ia menunggu, sepupunya belum keluar kelas juga padahal langit sore itu sangat gelap. “Aduh Az, cepat keluar sih. Mau ujan ni. Mana sendirian lagi”, gerutu Elita. Ia celingukan bingung sendiri harus melakukan apa. Ia memainkan kakinya di atas pasir dan menerawang kosong ke arah menara.
“Daaaar”, Az mengagetkan sepupu yang sangat disayanginya.
“Hufh ngagetin aja kamu. Ko lama banget sih keluarnya?”.
“Tahu tu..h ustadz Heri lagi kemasukan apa kali?”.
“Ya sudah, mana uangnya?”, sewot Elita.
“Kenapa bu, lagi da tamu dari cibeureum?”. Az malah mengguyoni gadis yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP itu. Elita hanya mendesis ia pun langsung menarik amplop yang disodorkan oleh sepupunya. Ia mencium tangan Az, yang sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Melihat tingkah Elita, teman-teman Az bersiul bahkan sebagian dari mereka ada yang iri. Betapa beruntungnya Az memiliki sepupu yang sangat menghormatinya, padahal tak jarang Az membuat ulah yang menggiurkan pesantren. Tapi, Elita tetap menghormatinya. “Sejelek apapun kelakukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi dan menghormatinya”, begitulah ungkapan ibunya yang selalu melekat di otak Elita.
Ranting-ranting hujan mulai berjatuhan. Elita gelisah dan kesal. “owalah harus pake ngantri lagi”, gerutu dalam hatinya. “Ini neng batagornya”, ucap tukang batagor. Rupanya ia mendahulukan pesanan langganannya. Ia menganggukkan kepala dengan memberikan uang bayarannya. Elita berlari kecil, namun ranting hujan itu kian lama membentuk pohon air, ia berlari lebih cepat tanpa lirik kiri kanan. Ketika ia mau menyeberang sejurus motor melaju kencang dan…
“Bruk… Elita kamu baik-baik saja?”.
“Aw… kakiku”.
“Elita kamu kenapa?, hayu kita duduk di bangku itu. Aku bantu kamu jalan ya?”. Elita manut saja ia tak punya pilihan lain.
“Elita kaki kamu sini aku lihat dulu?”. Spontan ia memasang mata sinisnya.
“Maaf, maksudku ga jahat. Aku cuma mau menolong kamu”.
“Kakiku kram dan sepertinya terkilir”, lirih Elita.
“Ow..h”. laki-laki itu mencoba meluruskan kaki Elita. Dengan sabar ia memijatnya. Elita hanya mengaduh menahan rasa sakit. Hujanpun reda, kaki Elita sudah normal dan bisa diajak berjalan. Ia berdiri dan mengucapkan terima kasih. “Elita, namaku Faiz. Aku teman sepupumu”. Laki-laki itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta. Sejak itu, Faiz begitu perhatian dengan Elita. Meski ia tak pernah meresponnya. Seiring pergantian hari Elita merasakan hangatnya perhatian dari Faiz. Ia merasakan ada getaran asing saat bertatapan dengan Faiz.
Dan sore itu, dalam suasana yang sama, di tempat yang sama, Faiz mengungkapkan perasaannya. Elita hanya mematung dan menggamitkan dua tangannya pada sahabat karibnya.
“Elita, ku mohon jawabanmu”. Elita melirik pada sepupunya. Az, hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. “Jawabannya.. jawabannya maaf aku ga bisa..”. “Elita please deh buka mata kamu itu. Kak Faiz tu orangnya baik, pinter, cakep lagi. Di sekolah kita bahkan di pondok ini ia jadi buah bibir dan dambaan cewek-cewek lho. Elita pikir dua kali dong”. Cerocos Wulan. Faiz hanya menghela nafas dan memandang dalam pada gadis pujaannya. Mulut Elita membuka lagi “kak Faiz iya aku ga bisa… ga bisa nolak kakak”. “Cie.. Cie.. wit wiiiw.. Faiz melayang tu”. Syai’r cinta terus didendangkan oleh teman-teman Faiz, menggodai dirinya. Faiz sama sekali tak menghiraukan mereka.
Elita dan Faiz hanya tersenyum dan saling menatap satu sama lain. Hati mereka saling berbicara atas kebahagiaan yang sangat luar biasa. Di saat lengah seperti itu, otak Wulan yang super jail berjalan dengan lancar. Ia tak usah repot-repot untuk menjaili sahabatnya yang sedang ulang tahun. Elita tak sadar kitab dan bukunya sudah diraib oleh sahabatnya. Perlahan tapi pasti Wulan mendorong Elita ke empang bi Juju. “Cebuur… Happy birthday Elita my best Friend”. Sorak sorai makin ramai. Elita mengomel dan menangis bahagia, sementara Wulan lari kabur karna takut dibalas. Faiz yang kebetulan saat itu ada, ia tak tega melihat gadis yang dicintainya menjadi korban jailan wulan. Ia membantu Elita untuk naik dengan penuh kasih sayang. Kali ini Az, hanya melihat mereka berdua. Ia tak mau merusak bunga-bunga cinta yang sedang dirasakan oleh sepupunya.
“Elita sudah larut malam. Kamu harus istirahat”. Teguran Regina, teman kampusnya mematikan putaran klise di pesantren . Elita hanya mengangguk, dan berpaling dari temannya. Ia tak sadar air dari kelenjar matanya sudah membasuh ke dua pipinya. Ia berpamitan pada dewi malam dan pohon mangga seraya mengucapkan terima kasih sudah mendengarkan ratapan batinnya.
***
12.00 malam at Pisita Vila
“Woy cepetan sih.. bikinnnya”, teriak Despita.
“Jangan teriak-teriak ntar pada bangun, nyonya”, sungut Alif.
“Handicamenya jangan lupa ya. Shoot semua ekspresi mereka berdua kagak nahan gue jadinya pengen lihat muka mereka. Hihihi”, timbal Regina.
Despita membawa 2 gelas berisi teh yang telah diramu oleh Alif. Sementara Alif memegang handicame dan bergaya seorang cameraman tv profesional. Regina dengan pelan membukakan pintu kamar mangsanya. “Happy birthday to you.. happy birthday to you… happy birthday to you…” lantunan lagu syahdu ulang tahun didendangkan oleh mereka bertiga. Rose yang saat itu bersamaan ulang tahun dengan Elita, ia terbangun dan hanya bengong memandangi tingkah teman-temannya. Elita sebenarnya mendengar nyanyian itu, namun ia enggan membuka matanya. Ia masih menganggap bahwa itu putaran klise saat dulu yang hadir di bawah alam sadarnya. “Ya Tuhan jangan biarkan kebahagiaan ini cepat berlalu. Izinkan aku tuk merasakan kembali kehangatan itu walau di dunia yang orang lain tak ketahui”, rintih Elita dalam hati.
“Elita… Elita bangun dong”.
“Happy birthday Elita”, ucap Regina.
Gadis itu akhirnya membuka mata dan mengucek-nguceknya, ia tatap satu persatu teman-teman disekelilingya. Ia bangun dari tempat pembaringannya, ia hanya terpaku oleh situasi di depan matanya. “Elita, Rose happy birthday ya. Maaf kita tak bisa membuatkan party yang wah buat kalian”, kata Despita. Rose hanya menganggukkan kepala sementara Elita masih mematung, ia masih tak percaya dengan semuanya.
“Hayo berdo’a dulu sebelum meminum ramuan kami”, pinta Alif. Elita dan Rose melakukan apa yang dipinta oleh Alif. Elita dan Rose mengusap mukanya, lalu mereka mengambil teh yang ada di tangan Despita, mereka meneguk seksama,
“His…h Asin, what this is?”, ucap Elita dengan nada kaget dan kesal. Mereka semua hanya tertawa terbahak-bahak. Elita menghela nafas dalam-dalam,”sialan mereka jailin saya”.
“Elita, jangan manyun dong”, goda Alif, sambil menshoot ekspresi temannya itu.
“Elita ni da permen sikil, ni kan kesukaan kamu”.
Elita langsung menyambar permen kaki yang ada di tangan Regina. Ia sudah tak tahan sejak tadi menahan rasa asin di lidahnya. Gadis itu masih terdiam di pojok kamar sambil mengemut permen yang disambar dari sahabatnya. Ia meraih telpon genggamnya. Ia kecewa, tak ada satupun ucapan selamat ulang tahun dari keluarga dan sahabat karibnya. “Hufc..h sudah tak ada lagi yang ingat dengan ultahku”. Akhirnya, ia bangkit dari tempat tidur. Ia ingin mencari tempat untuk menepis semua kenangan yang mengiris ulu hatinya. Mata Elita menjelajahi ruangan vila, ia mencoba mencari teh ramuan Alif. Matanya membelalak saat Despita akan menumpahkan teh di tempat cucian piring.
“Despita, jangan buang itu!”,
“Elita, ngagetin aja. Emang kamu mau menghabiskan teh ini?”.
Elita tak berkata apa-apa, ia hanya merebut teh yang digenggam temannya itu. Ia pun berlalu mencari tempat di mana ia bisa bercengkrama dengan kenangan masa lalu. Despita, Alif dan Regina serta teman-teman yang sedang bermain PS hanya melongo melihat tingkah aneh Elita. Ia memang sering terlihat bengong dan pemurung, ia tak suka keramaian, namun sikap Elita kali ini cukup membuat bisu teman-temannya. Mereka heran Elita melarang Despita membuang ramuan teh Alif, dan ia membawanya. “Teh yang gue bikin kan asin?, tapi kenapa tu anak malah membawanya. Apa ia akan meminumnya lagi?”, segudang tanda Tanya muncul di benak Alif.
“Elita, kamu kenapa memandangi terus teh itu?”,
“Regina, pernah ga kamu menyesali hidup kamu?, Tanya balik Elita. Regina mengelengkan kepala. Ia tak mengerti apa yang ditanyakan temannya itu.
“ Dua puluh tahun sudah aku menapaki bumi ini. Banyak waktu yang telah kusia-siakan. Banyak kesempatan yang telah kuabaikan. Aku manusia yang tak dapat mensyukuri nikmat Tuhan. Aku selalu marah padanya, karena merasa Ia tak adil denganku. Aku selalu mengeluh, mengapa Tuhan tak memberikan apa yang kuinginkan. Padahal Ia lebih tahu apa yang kubutuhkan. Aku marah pada keluargaku yang tak pernah mengikuti hasratku. Yang paling menyakitkan dalam hidupku ialah mereka tak mendukungku bahkan mungkin tepatnya mereka melarangku untuk memasuki fakultas yang aku dambakan selama ini, yaitu sastra atau komunikasi. Saat aku mengutarakan keinginannku setelah lulus SMA, mereka semua malah memojokkan aku. Mereka memaksaku untuk memasuki fakultas keguruan, padahal aku sama sekali tak tertarik. Kedua orang tuaku terlalu bergantung pada omku yang memiliki jabatan di daerah ini. Jujur aku tak suka itu, karena itu sama saja mereka menganggapku hanya sebuah boneka. Aku ingin terbang melebarkan sayap-sayapku, meraih mimpi bersama bintang. Aku kesal, protes dan marah pada mereka. Awalnya aku hanya bisa menahan semua rasa sakit itu. Aku kubur semua impianku. Namun, semakin ku coba tuk menghapus mimpi-mimpiku, impian itu semakin menjerat asaku hingga aku depresi.
Pernah kusakit yang tak karuan, entah sebelah mana tubuh yang nyeri. Tapi yang pasti saat itu, aku lunglai. Aku malas menjalani takdirku, rasanya muak aku melihat orang-orang merajut bintang. Akupun tak punya tujuan hidup, seperti pepatah lama mengatakan hidup tak segan mati tak mau. Kulewati hari-hariku dengan setengah hati bahkan mungkin aku hanya mengikuti arus saja. Tak ada hari sepesial, rasanya jiwaku sudah mati lenyap dari bumi ini. Mungkin orang lain melihatku adalah gadis biasa, padahal aku adalah gadis yang telah terlilit oleh masa yang hitam. Aku masih terbelenggu oleh hasrat yang tak pernah bisa kuungkapkan. Rasanya hatiku penuh dengan batu kerikil.
“Regina?”,
“Ya, Apa Elita? Sampai segitukah kau marah pada Tuhan dan keluargamu?”,
“Tidak, masih banyak pemberontakan-pemberontakan yang kulakukan. Kelihatannya hal sepele tapi cukup membuat keluargaku geram dan tak tahan lagi mengahadapi tingkahku. Ibuku sering menangis gara-gara aku sering pulang subuh. Bahkan aku pernah pulang jam 7 pagi. Om dan tanteku tak henti-hentinya menasihatiku. Berbagai macam cara telah mereka lakukan agar aku berhenti dari kegiatan yang kuikuti. Alasannya cukup singkat, hanya karena terlalu menyita waktu dan memporsir tenaga. Semakin keras larangan itu, aku semakin menjadi. Rasanya telah kutemukan jiwaku kembali. Jiwa yang pernah mati di telan kekecewaan yang mendalam dan aku tak mau lagi ada orang yang merampasnya. Di kegiatan itu aku serasa mendapatkan suntikan energi dan gairah hidup kembali. Ya, walau hanya fokus terhadap kegiatan itu, sedangkan tugas utamaku sebagai generasi akademis masih kuabaikan. Tak pernah sama sekali aku menyentuh buku-buku mata kuliah. Aku sering membelinya,ya hanya sekedar membelinya. Jangankan untuk membaca, menyentuhnyapun aku tak punya waktu. Kuhabiskan waktuku untuk mengabdi dan belajar di kegiatan sosial kemanusiaan itu. Banyak yang telah kudapatkan, mulai dari ilmu hidup, sahabat, canda tawa, nasihat bahkan mungkin motivasi sekalipun nama-nama binatang yang keluar. Itulah gaya pendidikan kegiatan yang kuikuti, keras, tegas dan lugas. Bukan hati yang dipakai tapi logika.
Teh asin yang telah kalian ramu telah menyadarkan akan kekonyolan tingkahku. Hidupku tak beda dengan teh ini. Teh ini rasanya asin namun terasa manis di hati dan tak kan pernah kubisa untuk melupakan kado istimewa ini. Walau rasanya asin namun sangat berpengaruh dengan hidup dan gaya pikirku. Sepintas teh ini tak ada maknanya, namun bagiku ini adalah pesan singkat yang ditulis oleh Tuhan untuk membangunkan aku dari mimpi burukku. Aku marah besar pada-Nya dan pada keluargaku atas mimpiku yang tak bisa ku ekspresikan. Sampai-sampai aku bertingkah laksana gadis yang suka keluyuran malam. Aku selalu merasa akulah orang yang paling sengsara dan teraniyaya. Aku selalu merasa tak ada satupun orang yang menyayangi dan mencintaiku. Aku merasa aku telah ditelantarkan oleh keluargaku. Seringkali aku kesepian di rumah hingga aku sering berfantasi. Tak jarang aku masuki dunia yang tak bisa ditembus oleh raga-raga yang bernafas normal. Tak sedikit wakutu kuhabiskan untuk berbicara sendiri di kamarku. Lemari yang berdiri angkuh sering menertawakan diriku yang selalu meratapi suratan yang telah ditulis oleh Tuhan. Padahal semua itu kurasakan sakit, karena aku tak bisa mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Aku tak kuasa membaca pesan-pesan yang tersirat dari keluargaku. Betapa manisnya cinta yang diberikan oleh Tuhan dan keluargaku. Inilah cara Tuhan dan keluargaku mendidik aku agar menjadi wanita yang mandiri dan berarti. Walau jalan hidup yang kita tempuh itu terjal namun bila dijalani dan disyukuri dengan rasa ikhlas semuanya akan terasa mudah dan ringan untuk menggapai cinta-Nya”.
“Regina?”, tak ada jawaban dari teman Elita, hanya dengkuran yang terdengar. Gadis itu memandangi temannya. Ia melihat betapa tenangnya Regina seakan tak punya beban dalam hidupnya. Dari teh ini ia banyak mengambil pelajaran. Ia hanya menarik nafas dan bercumbu dengan angin pantai dini hari. Sebenarnya ia masih mengharapkan ucapan selamat ulang tahun dari malaikat cinta yang pernah singgah di hatinya. “Ah kakak, apakah kau benar-benar sudah melupakanku atau bahkan kau telah menghapus namaku dari goresan tinta dalam hidupmu? Aku akan selalu menunggumu untuk kembali”. Elita menutup kisahnya hari ini bersama belaian batang hujan dan angin pantai yang seperti badai.
Komentar
Posting Komentar