Peuceul Kuli Tinta
Alunan
suara merdu sang bintang yang dikontaminasi berbagai macam suara, melengking
hiasi sang mentari mengepulkan asap panasnya ke permukaan bumi. Kurasakan kini udara tak bersahabat
lagi. Aroma kecut, wajah kusut, hati kalut berkumpul di ruangan yang cukup
sempit. Resikonya aku dan yang lainnya harus berdesak – desakkan di saat
proyeksi ataupun rapat yang lainnya. Namun entah kenapa di tempat ini aku
menemukan sebuah ketenangan. Aku bisa merasakan kehangatan kasih sayang dari orang
– orang di sekelilingku. Berbeda jauh saat aku berada di rumah Omku. Walau rumah itu
megah nan mewah. Aku tak bisa merasakan bahwa aku berada di antara keluarganya.
Di rumah itu aku selalu merasa sepi.
Bahkan aku telah mengalami gangguan kejiwaan yang ringan, tak lain ialah
anxiety. Kecemasan itu selalu menghantui perasaanku. Aku telah terlilit olehnya selama bertahun-tahun.
Sampai kini belum ada yang bisa melepaskannya dari hidupku. Semua bayangan hitam
di masa lalu telah membelenggu dalam jiwaku. Mungkin banyak orang mengira bahwa
tinggal di rumah seorang pejabat sangatlah menyenangkan, namun kenyataannya aku
tak bisa menikmati hasrat itu. Benar kata pepatah walau tinggal di gubuk
asalkan ngumpul sama bapak, ibu, dan adik itu lebih menyenangkan. Daripada
tinggal di istana namun tak pernah ada tegur sapa.
“
Dor…!!”. Izul menepuk bahuku dan membuyarkan lamunanku. Sepontan aku kaget. Aku
hanya menarik nafas dalam – dalam dan mengatur jantungku agar kembali berdetak
dengan normal. Lalu aku mulai angkat bicara.
“
Kak Lut gimana nich dengan isu proyek aku? ”.tanyaku.
“
Langsung aja ke Pak Fui. Kemarin kakak udah konfirmasi beliau ”. Jawabnya.
“
O… gitu ya? ”. Ada rasa takut di hatiku.
“
Udah tenang aja Pak Fui baik kok ”. Bang ajat menenangkanku.
Aku
terdiam dalam beberapa menit. Mengumpulkan seluruh elemen – elemen
keberanianku. Ini tugas minggu kedua aku harus wawancara. Tekadku yang kuat
untuk menjadi wartawan kampus dan broadcaster di radio kampusku membuat
semangatku bangun kembali. “ Hem… emang dasar anak UKM Pers gak pernah ada
henti – hentinya berkicau
”, gumam hatiku.
“
T Izul mau sekarang gak wawancaranya? ”.
“
Iya ni bentar mau nanya dulu “, ucapnya.
Sekitar
5 menit Izul bercakap – cakap bersama Pimred Pers kampusku. Aku menunggunya di
luar. Aku sudah tak tahan dengan kegaduhan di dalam sana. Entah kenapa hatiku
masih diliputi rasa takut, sakit yang mendalam. Badanku lemas, lelah, dan
bergetar. “ wadu…h t Izul malah bercanda lagi, gak tau napa perut orang udah
demo??”. Gerutu hatiku. Aku terus bolak – balik kaya setrikaan di depan ruang
aktivitasku. Aku mulai kesal, Izul belum juga keluar. Akhirnya mulutku nyaring
memanggil Izul.
“
T Izul cepetan!!
“. Ada nada marah dalam suaraku.
“
Iya.. bentar lagi say “, tegasnya dengan nada suara lantang.
Tak
lama kemudian Izul keluar. Kami berdua bergegas pergi meninggalkan ruangan itu.
Aku dan Izul menuruni anak tangga. Sungguh hari yang menyenangkan dicampuri
menyebalkan. Hari itu aku sangat tak karuan apa tujuanku. Aku terus melewati
bascame – bascame UKM di kampusku. Sementara mentari terus sinari bumi ini,
menyengat kulit anak adam dan hawa. Adu..h aku merasakan tusukan di kepala dan
perutku. Mataku agak rabun melihat benda yang jaraknya jauh dariku.
“
T Izul aku mah teng – tengan tau kepalanya “.
“
Teng – tengan, apaan tuch bahasanya??
Aku
hanya senyum simpul sebagai tanda aku tak mau menjawab.
“Kenapa
pusing ? sama saya juga ”.
“
Tangannya gemetaran lagi eu..y “.
“
Belum makan dzuhur ya, eh maksudnya makan siang? “.
“ Iya “, jawabku singkat.
Aku
baru ingat kalau dari tadi pagi belum ada makanan yang masuk ke dalam perutku.
Pantas saja semua organ tubuhku lemas bak tak ada energinya. Kami berdua terus
melintasi ruangan kuliyah menuju ruangan narasumber kami. “ Huf.. harus naik tangga lagi bikin
betis tambah gede aja inimah “. Kataku. Aku bebicara sendiri tanpa Izul
menghiraukan keluhanku. Karena memang sejak tadi T Izul tangannya sibuk menari
di atas Hand Phonenya.
Aku
jadi salting saat aku dan Izul sampai di lantai 2. Ada rasa gerogi saat kedua
mataku berpapasan dengan kedua bola matanya. Dia hanya tersenyum akupun
membalasnya. Setiap kali aku bertemu dengannya aku ingin menyapanya, namun
entah kenapa mulutku selalu ada yang menyergapnya. Dia seniorku saat aku
mengikuti bimtest. Dia pernah mengantarkan aku ke rumahku. Aku selalu tersenyum
sendiri bila mengingat peristiwa itu. Betapa polosnya aku mau aja diantarkan
sama orang yang aku kenal hanya sepintas. Bila melihat sikapnya mengingatkan
aku sama pangeran SMAku. Sifatnya tak jauh beda dengan dirinya. Dia dingin dan
tak kan angkat bicara kalau belum didahului oleh orang lain.
Akhirnya sampai juga di depan ruangan Pak Fui. Kami berdua saling menunjuk siapa
yang pertama masuk dan mengetuk pintu. Aku dan izul jadi maju mundur. Dengan
segenap keberanianku ku ketuk pintu dan disusul oleh ketukan Izul. Ku ucapkan
salam namun tak ada jawaban. Kami berdua serentak membuka pintu dan ternyata
tak ada satu batang hidungpun di dalam sana. Aku dan Izul kembali keluar. Kami
duduk di kursi tepat di samping ruangan dekan itu. Aku dan Izul menyusun
rencana untuk ke depannya. Izul memutuskan untuk sms senior kami dan menanyakan
kontak person Pak Fui.
Izul mulai merangkai kata yang tepat untuk pak Fui. Dan pak Fui membalasnya. “ Bapak ada di PD 2, langsung aja ke sini “. Dikte Izul. Aku dan Izul
angkat kaki dari tempat duduk itu menuju ruangan Pembantu Dekan 2. Tibanya di
depan pintu ruangan PD 2, kuketuk pintu dan kami ucapka salam. Kali ini ada
jawaban dari dalam sana.
“
Mau ke siapa neng ? ”. Tanya salah satu di antara 2 orang itu.
“
Mau Ke Pak Syafuri “. Serentak kami berdua menjawab.
“
Mau apa ? “. Tanyanya.
“
Mau wawancara, ini dari ARGHA “.
“
O … Masuk aja neng “. Ucap dosen yang sejak tadi diam dan ternyata dia adalah
sasaran kami. Kami memang belum hafal wajah narasumber yang diperlukan. Aku dan
Izul menjelaskan tujuan kami dan inti pembicaraan dengan detail. Kami mulai
bersikap laksana wartawan yang sedang menginvestigasi sasarannya. Setelah
mendengarkan penjelasan dan satu pertanyaan dari kami Pak Syafuri dan temannya
saling berpandangan dan mesem. Kemudian ia menanggapinya dengan bijak.
“ Neng kalau masalah internet jalan atau
tidaknya bukan kami yang mengurus. Kami tidak ada sangkut pautnya untuk hal
itu”. Jelas pak Fui dengan tegas.
“
Tapi Pak itukan ada di Fakultas Syari’ah? “. Izul langsung mengajukan
pertanyaan yang ke 2.
“
Memang itu di fakultas Srai’ah tempatnya. Tapi untuk masalah itu biro Subag Umum
dan Biro AUAK neng”. tambahnya.
Kini
bagianku untuk bertanya. “ Pak maaf, saya dengar ada isu tenaga pengajar di
fakultas ini yang harus angkat kaki dari kampus. Benar tidak Pak ? ”. aku
mencoba bersikap seperti wartawan sungguhan. Lagi – lagi pak Furi melirik teman
di sebelahnya. Pak Furi kali ini terlihat benar –benar keheranan dengan
pertanyaan yang saya ajukan
“
Kata siapa ada tenaga pengajar yang dipecat dari sini ? ”. Tanya temannya.
“
Saya pernah dengar isu ini sepintas, makanya saya konfirmasi bapak terlebih
dahulu untuk memastikan isu tersebut, benar atau tidaknya “. Tegasku.
“
Neng begini ya untuk masalah seperti itu juga kami tak ada sangkutannya. Saya
hanya ditugaskan dari atasan untuk menugaskan para dosen di mana ia harus
mengajar. Sedangkan untuk status dipecat atau tidaknya itu bukan kewenangan
saya. Itu tugasnya kepegawaian. Tau siapa kepegawaian ? ”. “ Pak Nana Suryana ?
“. Jawabku.
“
Kalau biro AUAK, tahu ? “. Tanya lelaki di samping Pak Furi.
Aku
dan Izul hanya menggelengkan kepala.
“
Harusnya Pak Ospek itu mengenal staf – staf dan jajaran strukutur organisasi
yang ada di lembaga kita. Bukan hanya memakai topi toga dari karton dan pake kaos
kaki belang saja “. Ucapnya dengan nada mengejek.
Aku
dan Izul lagi – lagi terdiam dan tertunduk. Perasaan malu melilit hatiku.
Andaikan ada cermin aku ingin melihat bagaimana warna wajahku. Aku merasa aku
tak punya muka lagi. “ Neng bapak tegaskan kembali ya. Untuk masalah fasilitas
seprti internet itu konfirmasinya ke biro AUAK dan untuk masalah status dosen
itu ke bidang kepegawaian “. Aku dan Izul mangangguk – angguk. “ Lain kali
konfirmasinya ke sana ya. Dekan Fakultas itu tak ada sangkut pautnya untuk hal
itu. Ini seperti beli peuceul ke tukang becak “. Tambah pak Fui. Aku
manarik nafas lalu ku keluarkan dari mulutku. Obrolan kamipun beralih ke yang
lain. kami berdua mengakrabkan diri dari mana asal kami dan kenapa sampai ada
di kampus ini. Sekitar 30 menit kami berada di ruangan itu. Kamipun langsung
berpamitan.
Aku dan Izul saling menggerutu. Kami kesal
sama senior kami. Kami serasa dikerjain. Atau mungkin dia menguji kami. Ah aku
tidak tahu. Tapi ini adalah pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku.
Setidaknya aku belajar memiliki mental besi bukan mental tempe ataupun tahu. Peristiwa
ini telah menggugah hatiku untuk terus memperluas wawasanku. Ternyata menjadi
seorang kuli tinta perlu banyak referensi, tajam pemikiran, peka terhadap
keadaan dan lingkungan serta penuh keragu-raguan. Dan yang terpenting adalah mampu mengeloah
semua isu menjadi peuceul yang bisa disajikan dengan baik, hingga layak untuk dikonsumsi
public bukan isu sekadar isu. Selama perjalanan pulang aku terkadang tersenyum
mengingat peristiwa yang menggelikan itu. Kata – kata Beli peuceul ke tukang becak
itulah yang paling membuatku jadi geli. Terlebih lagi aku masih jauh dari jiwa
kuli tinta sejati yang memiliki daya kritis tinggi.
Komentar
Posting Komentar