Persembahan Terkahir



         “Siapa nama kamu?” gertak pria bermata bulat.
         “Khairatun Nisa.” Jawab Nisa.
         “Kamu menantang saya?”
         “Maaf, saya tidak bermaksud menantang kakak.”
         “Maaf? Kamu tahu kesalahan kamu di mana?” Nadanya semakin meninggi.
         “Ya saya tahu, kesalahan saya memakai jilbab.”
          “Kalau kamu tahu aturan, kenapa kamu melakukannya. Kamu ini punya otak atau tidak? Pikir dong, mikirnya pakai otak, jangan pakai dengkul!” cecar sang pria yang tahun ini menjabat sebagai ketua OSIS (Organisasi Siswa Intera Sekolah).
          Semua mata tertuju pada Nisa, memandangnya dengan penuh tatapan nanar. Lagi-lagi ada peserta MOS (Masa Orientasi Sisswa) SMK Bina Bangsa kedapatan membuat kesalahan oleh sang ketua. Ia terkenal dengan keras dan tidak tahu ampun! Siapa saja yang tidak sejalan dengan pikirannya, habislah ia. Hari ini Nisa, gadis lugu berdarah priyangan tidak mengindahkan peraturan MOS yang telah ditetapkan. Bukannya Nisa tidak tahu akan hal itu, namun prinsipnya yang telah tertanam dalam jiwanya sejak dini tak dapat digoyahkan oleh apapun. Meski ia harus menerima hukuman berat yang akan diberikan oleh sang ketua dan panitia, ia tak kan pernah mengubahnya. Kini, Nisa hanya terdiam mengolah emosi yang
sedang bergulat dalam pikirannya guna menghadapi sang ketua yang mulai meruntuhkan prinsipnya.
“Heh, kamu malah bengong, kamu tuli atau apa? Kenapa kamu masih mengenakan jilbabmu? Atau kamu mau…”,
“Maaf kak, saya tidak tuli seperti apa yang kakak kira. Saya tahu, salah satu tata tertib dan peraturan MOS yang telah dirancang oleh kakak dan teman-teman kakak salah satunya tidak boleh mamakai jilbab bagi para siswi. Tapi ini prinsip saya. Saya sama sekali tidak akan melepaskannya walau sedetikpun. Saya siap menerima sanksi yang akan kakak-kakak panitia berikan kepada saya. Sedikitpun saya tidak takut. Saya lebih baik menerima sanksi daripada saya harus melepas  penutup mahkota saya.” tegas Nisa.
          Semua peserta dan panitia MOS tercengang atas jawaban Nisa. Sama sekali tak ada keraguan dan kegentingan dalam diri Nisa. Ia begitu yakin akan tekad dan prinsipnya. Tidak hanya peserta maupun panitia lain, sang ketua OSIS, Ferdinan hanya bisa terbelalak dengan kata-kata Nisa yang syarat akan ketegasan. Baru kali ini ia mendapatkan lawan bicara yang begitu tenang ketika harus berhadapan dengannya. Iapun terkejut akan kelihaian Nisa saat ia sedang memandang dirinya. Sorotan mata Nisa sama sekali tidak memancarkan ketakutan akan dirinya. Kini giliran Ferdinan yang terdiam membisu di hadapan Nisa. Namun, Ferdinan tak mau kalah dengan adik kelas yang dianggapnya masih bau kencur dan mudah dipatahkan pendapatnya. Keangkuhan dalam dirinya mulai muncul dan siap untuk memakan prinsip Nisa.
“Ok, kamu berjilbab dan kamu tahu akan saling menghormati dan menghargai. Seharusnya kamu bisa menghargai keputusan dan kebijakan panitia. Jadi, selayaknya kamu melepas jilbabmu yang kau anggap sebagai penutup mahkota kamu. Kamu jangan so suci gadis tak tahu aturan!”, Ferdinan semakin meninggi.
“Ya, saya yakin kakak lebih faham bagaimana cara menghargai orang lain dibandingkan dengan saya. Saya juga mohon, tolong hargai prinsip saya! Bukankah saya sudah menyatakan bahwa saya siap menerima sanksi dari panitia. Jadi apa lagi yang dikahawatirkan?”
“Heh, perempuan…”, tangan Ferdinan hampir menodong kepala Nisa.
“Maaf kak, Anda seorang ketua OSIS, tak selayaknya kakak bersikap seperti ini. Apa kakak tidak malu dengan jabatan yang kakak emban? Lagi pula, menurut saya, peraturan seperti ini tak ada kaitannya dengan mata pelajaran ataupun misi sekolah untuk membina keahlian dalam pengetahuan maupun kreativitas siswa. Ini hanya akan melemahkan karakter seseorang. Kakak lebih tahu bagaimana cara menghormati dan menghargai secara sesama. Saya memang bukanlah orang yang terlahir suci sesuci Siti Aisyah ataupun Rabi’ah Al-Adawiah, tapi saya akan berusha untuk tetap berada di jalan-Nya”, tegas Nisa.
          Ferdinan diam beridiri memandang Nisa, tak tahu apalagi yang harus dikatakan. Tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Nisa yang cerdas dalam menghadapi kata-kata lawan bicaranya. Ia terpaku akan gaya berbicara Nisa, sebelumnya ia belum pernah menemukan orang seperti Nisa. Selama ini, ia menganggap bahwa dirinya paling hebat dalam berbicara di depan umum maupun mengkader adik-adik kelasnya. Ferdinan memiliki kharisma dan wibawa yang tinggi, siapapun akan segan terhadap dirinya. Selain itu, dia tidak hanya berprestasi dalam organisasi, tapi dari sisi akademis juga ia tak bisa diremehkan.
          “Kak, jadi apa sanksi untuk saya?”, tanya Nisa mengingatkan.
“Ok, kamu lari keliling lapangan sekolah 15 keliling, selain itu kamu bersihkan aula dan hari ini kamu tidak mendapat jatah makan siang seperti peserta lain”, jawab Ferdinan dengan singkat. 
          Nisa dengan sigap langsung melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan. Ia tak mau lagi berlama-lama untuk berdebat dengan pria yang dianggapnya begitu angkuh dan keras kepala. Kalaupun menolak sanksi darinya hal itu hanya akan memperpanjang masalah. “Lebih baik dihukum daripada aku harus melepas jilbabku”, ucap Nisa dalam hati. Dengan senang hati Nisa melaksanakan semua sanksi yang diberikan sang ketua. Mulai dari keliling lapangan sekolah sebanyak 15 keliling, kemudian membersihkan aula yang sangat kotor. Dari bibirnya sama sekali tak ada keluhan satu katapun yang terlontar. Wajahnya begitu sejuk, tak ada tanda-tanda marah ataupun menyesal atas keputusannya. Demi jilbabnya ia rela tidak mendapatkan jatah makan siang dan tidak mendapatkan materi untuk hari ini.
***
          Waktu sudah menunjukan pukul 12.00 malam, Ferdinan belum juga bisa memejamkan matanya. Ia tak bisa tidur, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entah mengapa rasa ingin tahu akan dirinya begitu tinggi. Ferdinan berusaha untuk menutup mata, namun ia tak juga berhasil menidurkan otaknya. Bayang – bayang wajah seorang gadis yang begitu damai terus menghampirinya di pelupuk mata Ferdinan. Memang benar, sudah 2 minggu sejak kejadian hari terakhir MOS, Ferdinan seringkali memikirkan gadis yang pernah mengalahkan dirinya di depan umum. Namun, ia tak pernah serisau malam ini.
          Ferdinan beranjak dari tempat tidur guna mencari tempat yang dapat menenangkan kecamuk pikirannya. Ia mengambil taman belakang rumah sebagai tempat untuk merenungkan apa yang sedang ia rasakan saat ini. “Gadis itu begitu mengagumkan, wajahnya begitu cantik tak dapat kulukiskan dengan apapun. Ia cerdas juga tegas. Betapa sempurnanya dirimu. Siapa gerangan engkau mulai memasuki kehidupanku?” Dengan sadar, Ferdinan langsung membuang jauh-jauh pikiran yang penuh pujian bagi adik kelasnya itu. Ia sadar bahwa gadis itu bukanlah gadis seperti apa yang diimpikannya. Dia bukanlah level gadis yang disukai Ferdinand dan itu tidak akan pernah terjadi. Namun, dalam lubuk hatinya, ia mengaku ia tak bisa lagi menampik akan kekaguman pada gadis yang sempat dibencinya. “Ah mungkin ini hanya sekedar kagum”, ucap Ferdinan pelan. “Tapi, aku begitu menyukainya dan aku ada rasa ingin mendekatinya”. Ferdinan semakin frustasi dengan kecamuk perasaannya. Ia menyerah ia tak mau lagi berlawan arah dengan hatinya saat ini. Ia membiarkan malam menyisir detik-detik kejadian saat pertama kali ia berdebat dengan gadis yang kini ada dalam pikirannya. Ia menikmati setiap perkataan yang terlontar dari bibir berwarna merah delima milik Nisa.
***
          Di sekolahnya, Nisa menjadi buah bibir setiap orang baik siswa maupun guru. Dia dikenal karena kecerdasan dan kekreatifannya di segala bidang. Ia tak hanya berprestasi dari segi akademis tapi dari non akademis juga ia adalah masternya. Nisa banyak menguasai bahasa asing seperti bahasa inggris, arab, jerman dan jepang. Dan tentunya yang paling menonjol dari Nisa, kemampuannya dalam menggambar lebih tepatnya lagi dalam mendesain busana. Pada semester pertama Nisa berhasil menduduki juara umum dan dinobatkan sebagai siswa teladan SMK Bina Bangsa. Namun meski demikian, Nisa tetap rendah hati dan sopan santun. Hal itu juga lah yang membuat hampir semua orang menyukai dirinya. Ia tak pernah menolak, ketika seorang teman meminta bantuan dalam memahami pelajaran, dan dengan telaten Nisa mengajarkan semampu yang ia pahami dan ketahui.
          Nisa memiliki wibawa yang tinggi, pendirian yang kukuh dan prinsip yang kokoh. Ia sangat lihai dalam mengatur kata-kata ketika ia sedang berbicara. Tutur katanya begitu halus teratur juga elegan. Ia tahu bagaimana cara berbicara dengan orang yang bukan sebayanya. Sehingga tak sedikit, orang yang terkesan pada saat pertemuan pertama. Selain itu juga, Nisa memiliki paras yang tak kalah cantiknya dengan remaja-remaja kota kembang. Wajah Nisa berbentuk oval, matanya bulat lebih mirip dengan mata gadis timur tengah, begitu menawan jika dipandang. Bibirnya kecil dan tipis juga berwarna merah delima natural. Ada satu hal yang membuat orang tak bosan-bosannya memandang Nisa. Nisa memiliki wajah yang bersinar memancarkan aura kecantikan luar dalam akan dirinya. Bola mata Nisa selalu memberikan gambaran akan ketulusan dan kebersihan hati Nisa. Segala kelebihan akan dirinya membuat Nisa menjadi gadis remaja yang sangat berkelas. Meskipun ia cantik juga cerdas namun tak ada yang berani mendekati Nisa untuk menjadikannya sebagai kekasih. Atau mungkin lebih tepatnya lagi sebagai simbol keangkuhan bagi siswa laki-laki yang ingin mendapatkannya. Ia hanya bisa dilihat seperti permata yang harganya mahal dalam etalase. Yang kilauan permatanya hanya dapat dinikmati dengan kasat mata namun tak bisa disentuh oleh setiap orang.
***
          “Permisi, boleh bertemu dengan Nisa?” Ucap seorang guru yang sedang bertugas piket. Sepontan semuanya serentak menengok ke arah sumber suara.
          “Iya pak, ada apa?” jawab Nisa dengan lembut.
          “Kamu dipanggil kepala sekolah, harap menemuinya sekarang.”
          Nisa langsung bergegas menuju ruangan kepala sekolah. Ia benar-benar terkejut, ada angin  apa yang membuat kepala sekolah memanggil dirinya. Nisa berusaha untuk tenang dan menguasai pikiran-pikiran negatifnya. Ia memang dikenal dengan orang yang tenang, namun sebetulnya ia juga seseorang yang mudah risau akan suatu hal. Sehingga, tak ada satupun yang mengetahui akan kelemahan Nisa. Ia tutupi segala kekurangannya dengan rapi.
          “Hei!” sapa Ferdinand dengan melemparkan senyuman.
          Nisa hanya tertegun dan membalas teguran Ferdinand. Kemudian, ia pun berlalu begitu saja seperti biasa. Sempat ia memikirkan sikap Ferdinand yang baru saja ia terima. Alih-alih ia menghapus pikirannya yang ia anggap tak perlu untuk dipikirkan. Lain Nisa, lain juga Ferdinand. Ada rasa kesal dalam hati Ferdinand. Ia merasa diabaikan. Baru kali ini, ada seorang gadis yang tidak bisa menganggap kehadirannya. Seorang gadis yang beranjak pergi begitu saja, ketia ia menyapanya. Ferdinand mulai diterkam dengan perasaan-perasaan yang tak disangka sebelumnya. “Oh My God, what’s wrong with me?”, lirih Ferdinand. Seakan ia tak mengenali dirinya sendiri saat ini.
***
          “Nisa, dari laporan guru desain busana, kamu sangat lihai dalam mendesain baju busana muslim. Karyamu begitu indah, islami, dan kekinian. Saya yakin, suatu saat nanti kamu akan menjadi desainer yang terkenal. Tahun ini, kita mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba desain busana muslim nasional yang diadakan oleh mahasiswa fashion di Universitas ternama. Berdasarkan kesepakatan dengan para guru, kamu akan menjadi utusan sekolah kita. Oleh karenanya, saya mohon kesediaan kamu untuk mengikuti perlombaan ini.”
          Kata-kata ibu Diana, kepala sekolah Nisa terus melekat di pikirannya. Ia tak tahu apa yang harus diputuskan. Bukannya, ia tidak mau mengikuti perlombaan tersebut, tapi dengan kondisi Nisa yang sekarang, apa ia mampu mengerjakannya dengan baik. Di sisi lain, ia ingin sekali mengikuti perlombaan tersebut, ia pikir mungkin ini adalah salah satu jalan untuk mewujudkan impiannya. Namun, jika ia memutuskan untuk mengikuti lomba tersebut bagaimana dengan pekerjaannya. Nisa sekolah di kota kembang dengan hasil keringatnya sendiri, jika ia putuskan untuk memenuhi permintaan sekolah, hal itu berarti ia akan cuti selama dua hari. Sedangkan atasan Nisa tidak mengenal akan hal itu. Siapapun yang meminta cuti kerja, berkahirlah sudah masa kerjanya.
          “Mba, baju ini ada ukuran lain?” tegur seorang customer.
          Nisa tidak mendengar apa yang dikatakan pelanggan berbaju hijau muda itu. Ia masih larut dalam pikirannya. “ Mba, apa ada ukuran lain untuk baju ini?” tegur pelanggan untuk yang kedua kalinya sambil mengibaskan tangannya di depan muka Nisa. Sontak Nisa terkejut.
          “Eh iya, maaf Bu. Ada yang bisa saya bantu?”
          Ibu tersebut tersenyum dan mengulangi pertanyaannya yang telah diajukan tadi. Dengan cepat Nisa memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggannya.
          “Kamu masih sangat muda, sepertinya kamu masih anak SMA?”
          “Emh.. iya bu.”
          “Kamu putus sekolah?”
          “Tidak bu, saya kerja part time.”
          “Oh, kalau saya boleh tahu, orang tuamu ke mana?”
          “Emh.. ayahku sudah meninggal, dan ibuku hanya seorang guru ngaji di kampung halaman saya”, getir Nisa.
“Ya, kalau be…”,
“Bunda, lama sekali, ada apa?”, ucap seorang gadis berwajah oval yang ternyata anaknya.
“Tidak, sebentar lagi bunda selesai.”
“Ok, terima kasih ya Nak. Ini kartu nama saya, jika kamu ada perlu yang mendesak, kamu bisa hubungi saya.”
“Rosina Suryadiningrat”, ucap Nisa dengan pelan. Di kartu nama tersebut tertulis bahwa ia seorang dokter di salah satu Rumah Sakit di Kota Kembang. Nisa tidak mengerti dengan sikap Ibu Rosina yang baru dikenalnya, bahkan dia pikir dia belum kenal, dia hanya baru kali ini bertemu dengannya. Dia hanya menyimpan kartu nama dokter Rosina, seperti biasa ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
***
Dengan langkah hati-hati, Nisa memasuki rungan lomba desain baju busana muslim. Ia terkagum akan ruang yang sedang ditempatinya. Ia bermimpi, bisakah suatu hari nanti, ia menjadi bagian dari kampus ini. Ah, hanya mimpi pikirnya. Nisapun kembali ke dunia nyata. Ia mencermati kata-kata yang disampaikan oleh panitia akan tata tertib peserta selama perlombaan. Iapun mencamkannya dalam hati.
Di luar sana, sang surya dengan takdzim melaksanakan titah tuan-Nya, membentangkan jubah api yang menyengat setiap insan yang sedang menapaki bumi. Sementara Nisa, dengan lihai ia mulai mendesain rancangan busana muslimah yang sudah disiapkan jauh sebelum perlombaan. Dengan konsep modis dan ilami yang dimiliknya, titik demi titik, satu persatu ia satukan dalam sebuah garis hingga membentuk desain dress muslimah yang ia yakini akan menjadi idola para remaja muslimah. Ia berpikir, seorang perempuan yang berpakain muslimah tidak harus selalu bergaya apa adanya hingga banyak para remaja yang menganggap mereka ketinggalan zaman. Nisa berusaha menunjukan bahwa muslimah bisa berekspresi sesuai dengan karakternya. Ia bisa berbusana dengan lebih percaya diri namun tentunya mengikuti aturan syar’i.
Satu hari penuh, ia menuangkan ide-idenya diatas kertas putih. Ia merasa puas dengan pekerjaannya, meski ia belum tahu apakah ia akan memenangi lomba ini. Namun, tak sedikitpun terbersit dalam hatinya, jika pada akhirnya ia tidak termasuk kategori tiga besar.
“Hey! Kamu sakit? Kamu mimisan.”
Spontan Nisa mengusap hidungnya, terasa hangat darah yang sedang mengalir.
“Oh, tidak apa-apa. Bolehkan saya menitip pekerjaanku sebentar?”
“Ok.” Jawab gadis berwajah berlian, seakan ia mengerti apa yang diminta Nisa.
***
          “Baikalah ini detik-detik yang sangat dinantikan oleh semua peserta. Kita akan tahu  siapa yang akan menjadi juara pertama di bidang desain fashion. Well, dapat saya katakan karyanya begitu inovatif cukup membuat mata anda semua terbelalak jika anda melihat karyanya. Dan orang tersebut ialah nomor peserta satu, kosong, sembilan, atas nama Khairotun Nisa, perwakilan dari SMK Bina Bangsa.” Tepuk tangan riuh berirama di ruangan. Nisa seakan tak percaya, berkali-kali menepuk kedua pipinya. Setelah ia merasakan sakit, lalu ia melaksanakan sujud syukur atas kemenangannya.
          “Silahkan kepada Kharotun Nisa untuk menaiki panggung dan memberikan sepatah dua patah kata untuk kita semua.” Dengan perlahan dan perasaan campur aduk Nisa menaiki panggung.
          “Saya ucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua anugrah yang telah diberikan-Nya kepadaku termasuk piala ini. Saya juga ucapkan banyak terima kasih pada semua orang yang telah berjasa dalam hidup saya, terutama I.. Ibu. Umi, piala ini khusus untuk umi, maafkan Nisa yang telah memberontak Umi. Nisa hanya ingin meraih apa yang Nisa inginkan. Maaf Nisa tidak memikirkan hati Umi. Umi ini adalah per… persembahan ter… ter…” tiba tiba, nisa merasakan berat di kepalanya, pandangannya semakin kabur, ruangan seolah beputar terlihat olehnya, ia terus berusaha meneruskan sambutannya, semua orang memandang panik pada Nisa, dan brukk Nisa terjatuh.
          “Oh My God, Nisa!”
          “Detak nadinya berhenti”, ucap gadis becelana jeans.
          “Coba periksa denyut jantungnya!” perintah MC.
          “Berhenti juga. Nafasnyapun sudah tidak ada.”
          Lima menit kemudian seorang dokter memeriksa keadaan Nisa. Dan ia mengatakan, “Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun, gadis ini sudah tiada.” Seluruh penghuni ruangan mengeluarkan air mata melihat peristiwa yang sangat mengharukan. Nisa meninggal dengan bibir tersenyum, seolah ia merasa lega telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia mengeluarkan darah dari lobang hidunganya. Darah it uterus mengalir di lantai, hingga membentuk kalimat “La Ilaha Illallah, Muhammadar Rasulullah.”
***
       Kota Kembang, 10 Januari 2009  
Assalamu’alaikum wr.wb Umi,
          Umi, apa kabar? Semoga umi selalu berada dalam lindungan dan ridha Allah SWT. Umi besok Nisa mau mengikuti perlombaan rancangan busana muslimah. Nisa mohon do’anya umi. Mungkin ini salah satu jalan untuk mencapai mimpi Nisa.
          Umi ada satu hal yang ingin Nisa sampaikan. Maaf Umi jika Nisa telah merepotkan Umi, Maaf Nisa belum sempat mengunjungi Umi lagi. Sebenarnya, Nisa lagi takut Umi. Kenapa Nisa selalu bermimpi Abi menejemput Nisa, membawa Nisa ke sebuah Istana. Ah mungkin itu hanya ketakutan Nisa saja Umi.
          Umi, Nisa sayang Umi karena Allah. Maaf jika nanti Nisa menang sebagai persembahan terakhir untuk Umi. Sekali lagi, Nisa sayang dan cinta Umi karena Allah.

Wassalamu’alaikum wr. Wb
Puteri yang selalu merindukan Umi
          Umi Shaliha menarik nafas sedalam-dalamnya setelah ia membaca surat terkahir dari puterinya. Surat yang diberikan Nisa tiga hari sebelum ia pergi meninggalkan dunia fana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyelami Makna Pendidikan

Lelah yang Tak Kunjung Sirna, Hempaskan dengan Elegan!

Garis Abu