Air Mata dibalik Senyuman
Lelaki tua ringkih
terbaring lemah di atas ranjang dengan terpasang selang infus di tangan
kirinya. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu jernih memancarkan cinta pada
istri dan anak-anaknya, kini telah berubah keruh karena penyakit kuning yang
dideritanya. Suaranyapun melemah tak selantang dulu. Suara yang selalu menabur
kata-kata tegas dan lugas ketika ia mendidik putra-putrinya tak terdengar lagi.
Air mata yang selama hidupnya ia simpan, tumpah ruah sebagai pesan yang ingin
disampaikan pada keluarganya. Meski ia dalam keadaan payah dan tak berdaya, ia
berusaha gerakkan kedua tangannya untuk meraih alat tulis yang tersimpan di atas
berangkas dan bruk… ia terjatuh ke lantai.
“Masya Allah, Bapak!!”,
Wulansari, sang istri terbangun dari tidurnya. Seketika ia membantu suami yang
sangat dicintainya untuk bangun dan kembali berbaring. “Bapak, harusnya Bapak
istirahat. ini sudah malam, Pak.” Dengan penuh kelembutan ia menatap kedua mata
suaminya. Ia berusaha tegar tak mau menunjukkan kerapuhan di depan suaminya
yang sedang sakit parah.
“B… Bu…”, suaranya
begitu parau berusaha menyebut kata yang sudah dirindukan olehnya untuk
diucapkan.
“Ada apa pak?” Suwardi
tak mampu lagi berkata apa-apa, ia hanya menunjukkan jarinya ke arah dimana
pulpen dan selembar kertas putih tersimpan. Dengan berkaca-kaca, Wulansari
mengambilkannya.
Bu,
telpon Reva. Bapak ingin ketemu. Bapak sudah rindu ingin melihatnya.
Hatinya penuh luka,
membaca serangkaian kata yang tertera di atas selembar kertas putih. Ia hanya
mampu menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui permintaan suaminya. Diciumnya
kedua tangan Suwardi sebagai penguat atas kelemahan hatinya. “Besok, Ibu telpon
Reva buat menemui dan menemani Bapak. Sekarang sudah tengah malam pak. Reva
pasti sedang istirahat.” Dengan payah, Suwardi mengelus kepala Wulansari, istri
yang selalu menemani dan patuh kepadanya selama ia masih bernafas segar bahkan
saat dokter memvonis buruk akan waktu yang dimilikinya.
***
Waktu menunjukkan pukul
07:30 pagi. Hari begitu cerah, mentaripun sudah mulai naik, membentangkan jubah
gemerlapnya menyapa dunia. Reva, gadis periang dan selalu antusias dalam
sehari-harinya baru saja tiba di ruang kerja dimana ia dapat menumpahkan segala
kretivitasnya. Dengan sigap, ia membereskan ruangan yang terlihat bak kapal
pecah. Reva memang dipercaya sebagai sekretaris umum oleh teman-teman dan
seniornya. Meski pembawaannya yang kadang terkesan jutek dan galak, ia tetap
bisa mengambil hati kader-kadernya. Tidak hanya itu, ia memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik dengan lawan bicaranya dengan level usia yang berbeda.
Gaya bicaranya bisa memikat orang lain sekalipun orang yang diajak bicara
terlihat sangar. Itulah salah satu pertimbangan mengapa teman-teman satu
organisasinya, terutama ketua umum Reva, Zulkifli menjadikanya sebagai
sekretaris umum.
“Rev, anak-anak kamu
pada kemana? Kapan acara dimulai?”, ketus Rudi, senior yang dijuluki dengan orang
yang tak kenal kompromi.
“Iya kak, ini saya mau
sms-in mereka.”
“Rev, kamu kreatif
dikin dong! Jadi sekum, masih saja bodoh gak punya inisiatif.”
Reva hanya mendelik dan
langsung mebuka handphone kesayangannya dengan semangat yang dicampur dengan
kesal akan perkataan Rudi.
Reva,
pulang dulu nak, sebentar. Bapak ingin ketemu dan keadaannya sudah semakin
parah. Masa iya kamu tidak ingat sedikitpun dengan Bapakmu. Ibu tahu, kamu
sibuk dengan segala rutinitas, tapi jenguklah Bapakmu. Bapak sekarang di rawat
di Rumah Sakit sudah satu minggu, tapi dokter belum mengizinkannya pulang.
Bapak nanyain kamu terus.
Wajahnya
berubah menjadi kusut, matanya mulai digenangi dengan titik-titik air bening,
hatinya mulai gusar, tangannya bergetar ketika membaca pesan singkat yang dikirim
ibunya satu jam yang lalu. Ia hanya mampu menelan pahit yang tersendat
ditenggorokan. Sejujurnya ia ingin mengutarakan keinginannya untuk pulang pada Rudi
yang berada di sampingnya. Namun lidahnya terlalu kelu untuk bicara. Ia hanya
menyimpan masalahnya dan terus melanjutkan tugasnya. Tak lupa, ia menjawab
pesan ibunya.
Iya bu, sore ini Reva pulang. Reva mau ada
perlombaan dulu bu. Dengan lincah ibu jari Reva memijit tombol send yang terpampang di layar handphone.
Belum juga 10 menit berlalu, tiba-tiba hpnya bergetar.
Kak, Kakak itu anak yang paling disayang
sama Bapak. Bapak lagi sakit parah jangan egois kak. Pulang cepat, kalau kakak
gak mau nyesel. By: Farid. Ini bukan Ibu.
Matanya terbelalak,
emosinya mulai menyulut namun seketika ia meredamnya. Diabaikannya pesan dari
adik laki-lakinya. Ia kembali larut dalam tugasnya.
Suasana semakin gaduh
dengan sejuta warna suara yang menikmati berbagai ekspresi pembaca puisi. Reva
yang diliputi dengan perasaan tak nyaman ingat akan keadaan ayah yang dicintai
hanya manyun di pojok aula. Tak terlihat sedikitpun sisi ceria dari Reva. Reva
terus berkutat dengan pikirannya selama acara berlangsung. Namun, meski
demikian ia masih bisa melakoni peran sebagai sekretaris umum yang harus
membackup anggotanya. Ia kesampingkan masalah keluarga. Dan tiba-tiba hp-nya bergertar kembali.
Kak,
jadi anak berandalan amat. Udah tau Bapak sudah kritis, masih saja sibuk dengan
urusan sendiri. Bapak masuk UGD lagi. Kalau masih merasa anak Bapak, cepat
pulang sekarang, tengok Bapak di rumah sakit. Cuma kakak yang gak ada di
samping Bapak.
Reva tak bisa berkutik
apa-apa lagi. Ia juga tak bisa lagi tinggal diam memonitori anggotanya
sementara ayahnya sedang terkulai lemah di rumah sakit. Iapun ambil sikap tak
peduli lagi akan penjasan orang lain.
“Zul, saya mau pulang, Bapak
saya masuk rumah sakit. Maaf saya…”
“Rev, tunggu sampai
sore. Sampai acara selesai”, ketus Zulkifli.
“Zul, kalau kamu ada di
posisi saya gimana? Ngerti dikit napa?”
“Saya
juga tahu Rev. Ini kan lagi ada acara. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
“Zul…”
“Kalau kamu ngotot,
izin sana ke senior kamu!”
Reva
tak mau ambil pusing, ia langsung menemui seniornya Rudi. “Kak, saya minta maaf
sebelumnya. Saya harus pulang, kak.”
“Pulang?” Rudi
mengulang kata pulang dengan nada sinis.
“Ada apa Rev? Acara belum
selesai.” Timpal Handi berambut ikal.
“Bapak saya masuk rumah
sakit dan sudah kritis kak.”
“Innalillahi,
ya sudah kamu pulang. Jangan mikirin kegiatan. Ini sudah menyangkut orang tua.”
Reva saat itu juga
langsung berkemas untuk pulang. Rudi hanya bengong menatap Reva yang terus
berjalan menjauh.
***
Dengan perasaan
bersalah, Reva menaiki anak tangga menuju ruangan dimana ayahnya dibaringkan.
Reva terkejut saat membuka pintu, sudah banyak sanak keluarga di sana
mengelilingi ayahnya. Isak tangispun saling bersahutan. Perlahan Reva
melangkahkan kakinya mendekati ayahnya yang terkulai lemah. Reva mencium kedua
tangan ayahnya sebagai rasa hormat sang anak kepada bapak juga sebagai tanda kerinduannya.
“Bapak, ini Reva.
Maafin Reva yang tak sempat merawat Bapak. Bahkan disaat bapak kritis, Reva
masih sibuk dengan kegiatan Reva. Reva tak punya waktu untuk menjaga Bapak.”
Suwardi hanya bisa menitikkan air mata dengan mata terpejam. Reva menatap sendu
melihat wajah ayahnya yang selama ini mendidik dan membesarkan dirinya.
Wulansari sesenggukan melihat suaminya yang sudah tak bisa apa-apalagi. Ia pun
memberi isyarat pada Reva untuk mengikhlaskan ayahnya yang terlihat kesakitan.
“Bapak, terima kasih bapak telah mendidik Reva
tuk jadi orang yang pemberani dan tegar juga mandiri. Reva janji, Reva akan
menuruti nasehat-nasehat bapak. Bapak jangan khawatir dengan Ibu dan ade-ade.
Reva pasti akan jaga mereka. Kalau bapak mau pulang, tak apa-apa. Reva pasti
akan jaga keluarga kita.” Panjang lebar Reva berucap dengan nada
terbata-terbata.
Tubuhnya kaku dan
dingin. Denyut nadinya terputus, detak jantungnyapun berhenti. Tak terdengar
lagi irama hembusan nafas Suwardi.Untuk terakhir kalinya, ia mengulum senyum
sebagai tanda perpisahan. Monitor detak jantung di computer terdengar
melengking lurus begitu juga dengan kurva yang tertera jelas di layar monitor
komputer pendeteksi detak jantung. Serentak orang yang berada di dalam ruangan
panic, Rina dengan histeris memanggil dokter.
Dokter dengan sigap
memeriksa suwardi dan… “Bapak sudah pergi bu, ikhlaskan beliau.” Wulansari
menangis memeluk jasad suaminya. “Ba…pak,..” brak!!! Reva terkulai lemas dan
ambruk di lantai tak sadarkan diri.
***
Satu minggu sudah,
Suwardi pulang kepangkuan pada Sang Yang Maha memiliki. Reva masih saja belum
pulih seperti dulu. Ia berusaha menerima akan suratan Tuhan untuknya namun ia
belum bisa menebar senyum yang selalu menghiasi wajah cantiknya. Kalaupun
senyum hanya sebagai penutup luka di depan orang lain. Belum juga makam ayahnya
kering, tiba-tiba ia mendapatkan ujian Tuhan yang cukup memukul dirinya. Orang
yang selama ini ia percayai menikamnya dari belakang. Ia lacurkan kepercayaan
Reva pada perempuan lain. Di saat Reva membutuhkan kasih sayang minimalnya
sebagai pengganti sosok ayah, kekasih Reva malah tega bermain di atas air mata
yang belum kering.
Hari demi hari, minggu
ke minggu, Reva mencoba untuk bangun dari keterpurukannya. Ia ingat akan janji
yang diucapkan sebelum ayahnya tiada. Namun, hatinya hancur berkeping-keping,
angan-angannya mulai terkikis demi sedikit oleh rasa kecewa. Tak ada lagi
senyuman di wajah Reva. Tak ada lagi api semangat yang menyala merah dari jiwa
Reva. Ia abaikan semua kewajibannya. Mimpi-mimpi yang selama ini ia rajut, satu
persatu benangnya mulai terpisah tak lagi berbentuk.
“Aku harus berhenti
kuliah demi ibu dan adik-adikku.” Tekadnya mantap, pagi itu juga ia utarakan
kepada ibu dan kedua adiknya.
“Kamu
tidak usah berhenti kuliah, nak. Ibu masih bisa membiayai kamu dan kedua
adikmu.”
“Iya kak, sayang satu
tahun lagi selesai. Lagian farid sudah kerja.”
“Rina juga tinggal
beberapa bulan lagi lulus. Kakak lanjut kuliah ya!”, sahut Rina.
“Kamu jangan
menghawatirkan ibu, Rina dan Farid di sini. Selesaikan kuliahmu.”
“Tapi, bu…”
“Sudahlah
kamu kembali ke kota. Sudah satu bulan kamu tinggalkan kuliah. Teman-temanmu
juga banyak yang mencarimu.”
Reva terdiam mendengar
perkataan ibu dan adiknya. Tapi, ia tetap nekad akan kerja. Ia tak bisa lagi
tinggal diam melihat keadaan keluarganya semenjak ditinggal sosok ayah yang
penuh dengan tanggung jawab.
Tiga bulan sudah, Reva
menjalani hari-harinya berdiri melayani customer di sebuah department store.
Ya, ia memutuskan untuk kerja sebagai SPG demi menghidupi dirinya juga
keluarganya. Kini, ia tak bisa lagi menghabiskan waktunya dengan buku apalagi
dengan teman-temannya. Ia sibuk mengumpulkan rupiah untuk kelangsungan hidup
keluarganya. Hati kecilnya menolak untuk bekerja namun ia tak punya pilihan
lain.
Sejak Reva bekerja
banyak pencapan buruk terhadap dirinya. Di kegiatan yang selama ini ia ikuti,
Reva memang memiliki jabatan yang cukup tinggi dan perlu dipertanggungjawabkan
akan loyalitasnya. Reva, tak bisa lagi seperti dulu yang selalu siap mencurahkan
gagasan-gagasan brilian untuk membantu rekan-rekannya. Waktunya tersita habis
oleh tuntutan kerja. Penjasan sebagai penghianat pun ia telan dengan pahit dan
seret. Tidak hanya itu, kesan negative sebagai SPG pun ia terima dengan lara.
***
“Itulah sepenggal cerita dari perjalananku,
Dea.”
“Ya, Berarti kamu
hebat, Rev.”
“Tidak, Dea. Kamu
salah.”
“Salah dimananya?”
“Dea, aku pernah
memilih cinta yang salah.”
“Maksudnya?”, Dea
semakin tak mengerti.
“Ya, aku pernah
menerima uluran tangan dan cinta yang salah. Saat itu, aku benar-benar kacau
dan rapuh, Dea. Aku membutuhkan seseorang yang memberikan perhatiannya untuk
aku. Di saat aku kehilangan sosok ayah, aku juga kehilangan orang yang aku
cintai. Seperti yang aku ceritakan tadi. Dan, tiba-tiba atasanku memberikan
kenyamanan dan perhatian yang selama ini kurindukan. Di situlah letak kesalahan
terbesarku.”
“Hmm, aku jadi ngeri
membayangkannya.”
“Mungkin
ini proses yang harus kujalani, Dea. Kamu masih beruntung tak mengalami hal
seperti yang aku alami.”
“Ya,
mungkin juga. Tapi, kamu juga jangan menyerah untuk menyelesaikan studimu.
Sekarang kamu sudah lebih baik. Satu tahap lagi kamu akan menjadi orang yang
sukses. Jadi seorang PR alias public relation yang handal.”
Reva
tersenyum lepas, tak adalagi tawa palsu ataupun topeng ceria di wajahnya.
By:
Tri J. Aisyah
Komentar
Posting Komentar