Stammer Boy
“Wooy… ngelamun aje lu!”,
Dita menepuk bahu Eka.
“Dit, kamu keterluan! Hampir saja jantungku copot,” Darah Eka
mulai naik ke ubun-ubun.
“Hahaha sewot amat lu. Kenape, da masalah ma cowok lu?? Udah
jangan terlalu di dramatisir hidup itu!” Dita tertawa kecil setengah mengejek
sahabatnya yang lagi bengong dari tadi.
“ So tahu amiiit sih
Lu!,” Eka mendesis dengan gaya khas tatapan mata juteknya.
“Huc…..h emang dasar cewek di mane-mane sifatnya sama aje. Jadi
bingung deh gue”. Sambil bicara ia pun meninggalkan sahabat dari kecilnya yang
sedang marah-marah gak jelas.
Ditemani
bisingan siswa Eka menerawang ke arah langit. Ia masih memikirkan kejadian tadi
pagi. Bukan sekedar memikirkan peristiwa itu, namun ada rasa penasaran yang
mendalam di lubuk hati Eka tentang cowok yang tabrakan sama dia. “Siapa ya Dia,
ko saya baru lihat di sekolah ini??”, gumam hati gadis kota kembang itu.
Otaknya terus berputar memikirkan akan hal cowok tadi pagi.
“Hech macan nape lu masih di luar? Masuk kupret!,” Dita nongol
dari dalam kelas.
“Masuk??” Eka memandang sinis dengan mengernyitkan dahinya.
“Makanya jangan bengong mulu neng, nanti kemasukan syaitan lu!”
“Dasar bawel!”
Dita dan Eka
memasuki ruangan kelas. Mereka duduk di tempat masing-masing. Dita langsung
bergabung bersama teman-temannya bercanda tawa, sementara Eka manyun sambil
menari-narikan pulpen di atas kertasnya. Ia memang tertutup jikalau punya
masalah ataupun ada sesuatu yang mengganjal di otaknya. Ia tidak akan pernah
cerita selama ia mampu meng-handle
masalahnya. Jangankan sama sahabatnya sendiri sama keluarganya pun ia tak
pernah sedikitpun terbuka. Seberat apapun masalah yang ditanggungnya dia tetap
tersenyum dan diselesaikannya dengan hati lapang dada.
Gadis yang
berdarah sunda itu, mulai bosan dengan suasana kelas. Kegaduhan di dalam kelas
telah membuat jiwanya goncang. “Gimana Indonesia mau maju kalau pendidikannya
seperti ini? Sekolah terlantar amiit iyeu
mah. Kebanyakannya makan gaji buta. Hucf…h kumaha eta?” gerutu Eka. Iapun
memberhentikan tangannya yang sejak tadi bergoyang tak jelas di atas kertas. Ia
mangangkat kepalanya dan duduk dengan posisi siap, sesaat dia memandang ke
luar, tiba-tiba ia melihat sosok lelaki yang sedang berjalan. “Dia… Dia itu
kan…???”, Eka menunjuk kearah laki-laki itu. spontan ia berdiri dan meninggalkan
kelas.
“Ka lu mau kemane?”. Eka tak menghiraukannya,
ia terus mengejar laki-laki itu. Begitu juga dengan Dita berusaha mengejar sahabat karibnya itu. “Ka
tungguin gue dong lu nape sih?” Eka tetap mengacuhkannya hingga akhirnya Dita
kehilangan jejak Eka. “Gila tu perempuan larinya kaya kilat aje cepetnya minta ampun.”
Dita pun menyerah, sejenak ia istirahat dan kembali ke kelas. “O.. my God tu cowok larinya cepet amat kaya
buroq,” gumam Eka yang sedang
kecapaian dan mengatur nafasnya.
“Hai,
tunggu sih!,” akhirnya Eka meraih tangan laki-laki itu. Nafasnya tak beraturan
akibat lari kencang mengejar dia.
“Kamu
yang ta…ta…di pagi em…h e…mh em…h nabrak sa…sa…ya ya?”
“Ia,
saya mau mainta maaf sama kamu.”
“Ga uuu….sah euh… euh… minta maaf kali. Itu kan em….h em….h
titidak sengaja”.
Mereka akhirnya jalan
berdua menyusuri trortoar yang sudah memuai karena teriknya titik api di langit. Sambil jalan Eka
terus bertanya tentang hal teman barunya itu. ia mendengarkannya dengan setia walaupun
Angga bicaranya lola alias loading lama. Namun Eka tidak merasa jenuh atau pun
kesal. Sedikit demi sedikit rasa pensarannya hilang. ia mulai mendapatkan
jawabannya. Begitu juga dengan Angga, ia merasa senang karena telah mendapatkan
teman seperti Eka yang mau mendengar ceritanya.
“Oooh ini rumah kamu?”
“Ma..masuk yu!,” ajak Angga.
“Ko sepi?”
Angga
hanya terdiam.
“Maaf aku salah ya?” Angga langsung mempersilahkan Eka duduk dan langsung mengambil air
minum buat Eka. Mata Eka menjelajahi ruangan itu. Ia tersenyum sendiri.
“Ternyata ada orang yang sama nasibnya seperti aku,” gumam ia dalam hatinya.
Allah memang tak kan pernah membebani hambanya di luar batas kemampuannya.
“Ka mi….mi… num”. Angga spontan menceritakan
tentang ia dan keluarganya. Dengan nada sedih dan terbata-bata ia curhat tentang
segalanya. Baru kali ini ia menceritakan konflik batinnya pada orang lain.
Sebelumnya ia kubur dalam-dalam dalam hati. Bertahun-tahun ia telah terbelenggu
oleh rasa sakit yang tak kan pernah ada obatnya kecuali kasih sayang dan
belaian kasih dari seorang ibu. Ia tak pernah bisa mengungkapkan apa yang ia
mau pada kedua orang tuanya. Setiap ia mau angkat bicara ibu ataupun ayahnya
langsung memberikan isyarat yang membuat Angga ketakutan. Sehingga ia
tak mampu lagi untuk angkat bicaranya. Angga dituntut untuk menuruti
apa kata orang tuanya. No comment
baginya.
Semua itu terjadi
karena kesibukan kedua orang tuanya. Ibunya seorang sekretaris di sebuah
perusahaan ternama di Kota Bandung, sedangkan ayahnya seorang anggota DPR di kota tersebut. Canda tawa ataupun brainstorming dalam keluarga jarang
sekali bahkan mungkin tak pernah dilakukan. Keadaan keluarga seperti itu telah
memengaruhi psikologi Angga yang masih cukup labil. Apa lagi ia anak tunggal. Ia hanya bisa
berbagi ceritanya dengan mainan ataupun isi rumah yang mewah nan megah.
“Ternyata keseteraan gender itu cukup
ditafsirkan fatal oleh para wanita”. Pikir Eka.
“Ka, ka…ka…mu eu…..h eu….h eu…h bosan ya, Aku cengeng ya?”
Eka hanya tersenyum,
ia pun menjelaskan apa yang selama ini ada di benaknya. Eka juga memiliki nasib
yang serupa dengan Angga. Hanya saja orang tua Eka masih terbuka dan suka
meluangkan waktu untuk Eka walaupun hanya satu bulan sekali. Eka memang anak yang
cerdas dan mandiri. Ia pernah mendapatkan juara satu dalam lomba penulisan
artikel se-Jawa Barat dengan tema Emansipasi Wanita. Dalam artikel tersebut ia
cukup banyak membahas mengenai kesetaraan jender antara wanita dan laki-laki.
Dalam artikel tersebut ia berpendapat bahwa wanita hari ini tak sedikit yang
menjunjung tinggi nilai-nilai emansipasi wanita dan mengabaikan tugas pokoknya.
“Oooh jadi ka…ka…mu sama seperti aku?”
“Ya begitulah”.
“Ta…ta…pi kamu masih beruntung eu…..h eu….g dibandingkan aku.”
“Kamu ambil hikmahnya aja ok!! Lagi pula tak kan selamanya kita
bersama dengan orang tua.”
Angga hanya menganguk-angguk
kepalanya. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang teman yang klop di hatinya.
Eka memang gadis yang pintar dan memiliki pola pikir yang kritis dan
berpandangan ke depan.
“Eka bo…bo…leh kan em…h e…mh”.
“Door hayoh ape?”… hehehe
“Ntar dulu gech… ja…… ja…di teman kamu?”.
“Bo… bo…leh”.
“Kamu ko euh… eu..h kaya gitu?”.
“Piss canda bu!!”. Ekapun unjuk gigi. Mereka berdua bersalaman
dan menyatukan jari manis sebagai tanda ikatan persahabatan.
***
Komentar
Posting Komentar