Sepenggal Kenangan Lestari
Malam kian larut
menelan segala keramaian namun Lestari belum juga bisa memejamkan kedua
matanya. Ia memandangi suami yang selalu mendekapnya di saat terjaga. Ada niat
untuk membangunkan suami yang sangat dihormatinya, tapi ia urungkan kembali
niat itu. Ia tahu betapa lelahnya hari ini suami yang sangat ia cintai. Ia tak
kan rela bila suaminya esok pagi terlihat kurang istirahat. Lestari kembali
mencoba tuk menutup mata namun hasilnya nihil ia tak bisa juga tidur.
Bayang-bayang wajah perempuan yang sudah membesarkannya sejak kecil hingga
sekolah dasar mulai menghampiri benak
pikirannya. Ia berusaha tuk tidak menangis namun apa daya air mata yang ia
bendung menetes di pelupuk matanya hingga membasahi kedua pipinya yang cabi.
“Nenek, ada apa
denganmu? Mengapa engkau menghampiriku secara tiba-tiba?”, lirih Lestari dalam
hati dengan nada yang sangat merintih. Ia berusaha semampunya menahan tangis
agar suaminya tidak terbangun dari buaian mimpi indahn. Dengan penuh kasih
sayang dan pengabdian ia melepaskan dekapan Wijaya, suaminya dari tubuh Lestari
secara perlahan. Lestari beranjak dari kamarnya, ia memilih paviliun sebagai
tempat untuk mencurahkan yang sedang ia rasakan. Lestari tak kuat menahan
tangis, hingga badannya bergoyang-goyang dengan sedu sedan mengingat akan nasib
nenek yang sangat disayanginya.
Malam yang begitu
mengingatkan pada luka yang selama ini ia pendam. Luka yang tak kan pernah
sembuh dari pikiran dan hatinya. Luka yang telah mengubah Lestari dari seorang
anak kecil lemah menjadi perempuan yang tangguh . Lembaran demi lembaran luka yang telah
berusaha dikubur olehnya selama 20 tahun yang lalu terbuka dengan sendirinya.
Perempuan tegar itu membacanya dengan hati yang teriris dan hanya ditemani sang
rembulan di kesunyian malam.
“Nenek maafkan aku
belum sempat mengunjungimu”, ucapannya terdengar betapa merasa bersalahnya ia.
Lestari belum sanggup kembali ke tanah kelahirannya. Sejak peristiwa kejam yang
menimpa Suhartini, nenek kesayangannya, ia tak mau lagi menginjakkan kaki di
kampung tersebut. Masa-masa kecil yang dihujani dengan hujatan menyakitkan,
membuat ia benci dengan orang-orang disekelilingnya. Tidak hanya itu, ia juga
telah kehilangan masa-masa indah diwaktu kecil. Bahkan, sejak ia berusia 6
tahun ia telah kehilangan dekapan kasih sayang seorang Ibu. Ya, Ibu Lestari,
Ruwanah seorang TKW di Arab Saudi. Setelah kepergian suaminya kepangkuan Yang
Maha Kuasa, Ruwanah harus banting tulang demi puteri kesayangan dan untuk
mempertahankan hidupnya beserta ibu dan anaknya. Ia dengan berat hati harus
meninggalkan Lestari, puteri semata wayang demi mencari sesuap nasi. Ruwanah
memang bertekad untuk tidak menikah lagi karena janji setia pada Almarhum
suaminya.
“Kamu harus jadi
perempuan yang tegar menghadapi semua kenyataan hidup. Jangan pernah takut dan
sedih atas apa yang akan menimpamu! Jangan pernah marah pada apa yang
digariskan oleh Tuhan pada kita!” Sebuah pesan terakhir sang nenek pada Lestari
di suatu senja sebelum kepergiannya pada sang Ilahi. Lestari terisak tak kuasa
lagi membendung semua goresan luka di hatinya.
“Ya Rabb, kutitipkan ia
pada-Mu, Ampuni segala kesalahannya”.
“Kau merindukannya?”,
tanya Wijaya sambil mengecup kening isterinya.
“Ayah?”, sontak Lestari
terkejut.
“Kenapa kau tidak mau berbagi
kesedihanmu denganku?”
“Ayah…”
“Aku
ini suamimu sayang, tak selayaknya aku membiarkanmu menangis sendirian.”
Lestari hanya menangis
dalam dekapan Wijaya. Ia tak mampu lagi
berkata apa-apa menahan rasa sakit atas kejadian dua puluh tahun silam. Dalam
pelukan suaminya ia dapat merasakan kehangatan kasih sayang yang selama ini ia
dambakan. Wijaya terus memeluk dan membelainya hingga fajar menyapa hari.
***
“Ampun, Ampun, maafkan
saya!” pinta suhartini dengan penuh permohonan.
“Hai
wanita tua bangka, kau ini tidak tahu malu masih mengharapkan maaf dari kami!”,
hardik seorang warga yang mengibar-ngibarkan golok di muka Suhartini.
“Tolong
jangan hakimi saya!”
“Tunggu
apa lagi, kita seret wanita tua pembunuh ini. Nyawa harus dibayar dengan
nyawa!”
“Iya,
bakar dia!”
“Tolong,
Tolong, Tolong!”
“Nenek?” Lestari
terperanjat saat mendengar teriakan dari suara yang sangat ia kenali.
Ia menepuk-nepuk kedua pipinya, ia lebih
kaget lagi saat matanya sadar, perempuan yang selama ini menemani tidurnya tak
ada disampingnya. Ia lari menuju ruang tamu, betapa terkejutnya ia melihat
ruangan yang sangat berantakan.
“Tolong,
Tolong!”, lolongan suara itu kembali terdengar. Lestari mengintip dari
mata-mata jendela. “Ya Allah, nenek”. Sontak ia menjerit melihat arak-arakan yang
menggiring neneknya dengan perlakuan binatang.
Malam
sudah mencekam, bulan hanya sedikit memberikan sinarnya. Di sebuah kebun kopi
didekat Rumahnya ia dihakimi oleh warga. Lolongan suaranya sama sekali tak bisa
mengetuk pintu hati warga yang sudah diselimuti oleh rasa amarah dan geram.
Geram akan isu yang sudah meresahkan warga kampung Melati. Desas desus yang
mengabarkan bahwa seorang janda tua memiliki ilmu hitam yang telah banyak
memakan korban. Tak lain janda tua itu ialah Suhartini.
Dikejauhan
sana dalam kegelapan, Lestari terisak menahan tangis melihat ketidak berdayaan
sang nenek ditengah amukan para warga. Batinnya berontak, menyulutkan emosi dan
menggerakkan langkahnya untuk menolong neneknya. Namun, baru saja kaki kanan
melangkah tiba-tiba tangan Lestari ada yang menarik, kedua matanya ditutup oleh
sepuluh jari. “Sabar Lestari, jangan kau lakukan itu!” suara itu taka sing didengar.
“Bu
Nyai, tolong nenek saya.”
“Tidak bisa, Nak. Para warga sudah
tidak bisa dikendalikan sekalipun oleh pihak yang berwajib. Suatu saat nanti
ketika kamu kelak dewasa akan mengerti. Tabahkanlah hatimu, Nak.”
“Tapi,
Nenek salah apa, Bu?”
Bu Nyai terdiam tak
bisa menjawab pertanyaan Lestari. Ia peluk gadis bartubuh mungil itu mencoba
menenangkan kegelisahannya. Sementara di kebun sana para warga mulai menurunkan
obornya. Mulai melayangkan perkakas yang dibawanya. Dengan tega satu persatu
silih bergantian memotong jasad tua renta itu. Tak ada lagi rasa kasihan apa
lagi penghormatan sebagai sesama manusia. Mereka telah dipenuhi dengan geram
dan dendam. Tepat ketika kokok ayam jantan saling bersahutan bau anyir darah
yang pekat menyebar ke selulurh penjuru kampung Melati.
***
Komentar
Posting Komentar