Catatan Miss Coffee
by: Madhes Ai
Part 1
Part 1
Cahaya pagi menelusuk
kaca sebuah kamar di pinggiran kota. Sinar hangatnya membangunkan perempuan
yang masih terbaring lelap di penjagaannya. Mata sendunya membuka perlahan,
menjelajahi ruangan sepetak yang kini menjadi tempat berteduh dari hujan dan
panas. Ia sedikit terkejut ketika melihat jarum jam tepat pada angka delapan
namun lagi-lagi ia mengurungkan niatnya untuk bangun. Dipejamkan kembali kedua
matanya sebagai tanda ia tak mau menyapa hari. “Jadilah orang seperti kopi!”
Rangkaian kata tiba-tiba muncul di alam bawah sadarnya, sontak ia terperanjat
lalu ia bangun dari tempat pembaringan. Bibirnya mengulum seutas senyum
mengingat akan suatu senja yang pernah dilaluinya bersama orang-orang yang
sedang menapaki jalan untuk mendapatkan apa yang sudah direncanakan
masing-masing. “Thanks kak, atas
nasihatmu waktu itu meskipun belum sepenuhnya aku paham.”
“Win, kamu sadar? Tidak
sedang mengigau?”
“Iya, ada yang salah?”
“Ya tidak, aku hanya
heran kenapa kamu berbicara sendiri? Padahal baru saja melek.”
“Oh, hanya teringat
akan kata-kata seseorang.”
“Cie, siapa Win? Aku penasaran cowok
seperti apa yang buat kamu terus mengingatnya?”
“Apa sih Karin? Ada-ada
saja!”
“Ya
iyalah Win, Karin penasaran termasuk aku juga. Kamu selama ini dingin sekali
terhadap mahluk yang bernama cowok”, timpal Sofi.
Lagi-lagi Wina hanya
menyunggingkan senyum. Ia memang bukan tipe orang yang suka bercerita pada
orang lain tentang dirinya. Semua permasalahan yang pernah dilalui selalu ia
simpan dan selesaikan sendiri. Baginya tak ada orang yang dapat dipercaya untuk
menjaga cerita hidupnya. Sekalipun ada yang mau mendengarkan keluh kesah, orang
tersebut pada akhirnya akan menjas Wina yang salah. Itulah sebabnya ia tak
pernah bercerita pada orang lain. Hanya pada Yang Maha Mendengar ia tumpahkan
seluruh kejadian yang ia alami sepanjang hari. Karena hanya Dialah yang dapat
membuat dirinya merasa dimengerti bukan dihakimi.
“Win, hari ini kamu mau
kemana?”
“Menyusuri jalanan
kota,” jawabnya singkat.
“Oh, my God Wina,
bahasamu sudah seperti pujangga saja,” ledek Sofi.
“Wina,
temanku yang baik hatinya daripada kamu bingung mau melamar kemana lagi dan
belum ada panggilan untuk kerja, kenapa kamu tidak manfaatkan waktu luangmu
dengan menulis. Siapa tahu kamu jadi penulis best seller suatu saat nanti”, ucap Karin dengan penuh saran.
“Betul
itu Win. Aku baca tulisan kamu di mading
selagi kamu aktif di organisasi lumayan bagus. Kenapa tidak mencobanya untuk
mengirim ke media?”, tambah Sofi.
Seperti biasa Wina
hanya diam mendengarkan saran teman-temannya. Ia tak pernah berkomentar akan
pengecapan terhadap dirinya oleh orang lain sekalipun tak jarang ia mendapatkan
penjasan yang membuat moodnya berantakan.
“Sof, tadi kamu kenapa
nanya saya mau pergi kemana?”
“Mau nitip jemuran,
hehehe. Aku hari ini seharian di kampus.”
“Huh, udah biasa.”
Wina masih saja memeluk
erat kedua lutut memerhatikan kedua temannya yang sedang siap-siap untuk
menjalani aktivitas masing-masing. Seperti biasa, saban hari ia paling terakhir
meninggalkan kosan. Sudah lima bulan sejak kelulusan sarjana ia pergi dari
rumah. Ia bulatkan niatnya untuk menjalani hari tanpa bantuan keluarganya.
Dalam benaknya ia ingin menemukan apa yang dimimpikannya dengan tangan dan kaki
sendiri bukan hasil dari pemberian orang lain. Wina tak suka dengan orang yang
selalu memandang dirinya karena ayah dan ibunya yang memiliki kedudukan. Ia
ingin dilihat karena ia manusia juga karena kemampuan dirinya.
Wina memang bisa
dibilang orang yang beruntung karena terlahir dari keluarga yang cukup
terpandang. Ibunya seorang pengajar di salah satu sekolah dasar ternama di kota
Sultan. Sedangkan Ayah Wina bekerja di pemerintahan tanah kota Sultan. Keluarga
Wina jika dilihat dari kejauhan memang harmonis seperti tanpa ada cela.
Wina ialah anak pertama
dari tiga bersaudara. Ia memiliki dua orang adik yang super hebat. Arini adik
pertamanya yang masih duduk di bangku SMA sangat mahir di bidang science tak heran ia masuk kelas unggulan
di sekolahnya. Sedangkan Hilmi yang masih berusia empat belas tahun sangat
mahir di bidang olahraga juga yang sangat menonjol dari dirinya akan kemampuan
nalar dan komunikasinya ketika berinteraksi dengan orang lain. Namun Wina sama
sekali berbeda dengan kedua saudaranya. Ia sangat lemah ketika berhadapan
dengan angka terutama ketika menerima materi-materi pelajaran berupa science
seperti fisika, matematika dan kimia. Selain itu, Wina sangat takut dan kaku
ketika berada di tengah keramaian ataupun di depan umum. Ketika ia bersama
orang banyak dirinya akan bergetar, pikirannya kabur, dan prasangkanya meracau.
Ia mulai membayangkan jika salah satu diantara mereka yang sedang duduk
dengannya bisa saja tiba-tiba mengatai Wina dengan kata-kata kotor. Ataupun
bisa saja diantara mereka melempari Wina dengan benda tajam yang ada
ditangannya. Ketika dirinya dihadapkan dengan keadaan seperti itu, tubuhnya
akan menggigil mengeluarkan bintik-bintik cairan dingin dari pori-porinya.
Wajahnya muram penuh dengan rasa takut. Tak jarang ia tiba-tiba meninggalkan
suasana seperti itu meskipun suasana hal tersebut berada ditengah-tengah
keluarganya sendiri.
Mata Wina melirik jarum
jam dinding yang ada di ruangannya. Ia sempat terkejut melihat jarum jam
menunjukan pukul 08:30, tak disadarinya sudah tiga puluh menit ia menyaksikan
acara televisi tanpa diringi dengan pikirannya. Alam pikirnya selalu saja kabur
ketika raganya sedang beraktivitas. Dengan sigap ia berdiri menyambar handuk
biru dan bergegas untuk mandi.
Kering
air mataku mengingat tentangmu, tentang kita yang tak jodoh.
Baru saja kaki kirinya
melangkah ke kamar mandi tiba-tiba hanphone Wina berbunyi. Lalu ia cepat
kembali, mengangkat panggilan dari temannya.
“Ya, Sof ada apa?”
“Nggak ada apa-apa sih, hanya mau ngecek
kamu. Masih menghayal apa gak depan
tv?”
“Huh, kirain ada apa?
Ganggu saja!” ketus Wina.
Wina tersenyum geli
dengan kelakukan Sofi. Dalam pikirnya kenapa ada orang seperti Sofi yang sangat
peduli terhadap orang seperti dirinya padahal Sofi bukan siapa-siapa Wina. Apa
benar dengan pepatah yang menyebutkan terkadang orang asing terasa seperti
kerabat yang memiliki pertalian darah, terkadang juga kerabat terasa seperti
orang asing. “O.. Lalala, kenapa aku seperti ini? Ah kemakan film India saja!”.
Gerutu Wina.
***
Mentari sudah mendekati
pusat langit, terik sinarnya membakar permukaan bumi menimbulkan bau has tanah
kota Sultan. Tak terasa sudah tiga jam Wina menyusuri jalanan kota, menjejali
gedung-gedung pengais rezeki guna menaruh lamaran untuk ia bekerja. Ada cairan
berjalan di pelipisnya lalu ia mengusap dengan telapak jari kanan, ia tersenyum
ceria melihat akan hal itu. “Inikah rasanya mencari sesuap nasi?”. Cacing dalam
perutnya mulai menabuh drum tanda ingin disuapi makanan. Dibukanya handbag berwarna cokelat lalu ia ambil
dompet gold kecokelatan berbentuk segi panjang. Matanya cukup terperanjat
melihat hanya terdapat dua lembar rupiah ungu. Wina menarik nafasnya sesuai
yang ia inginkan melepaskan akan kecewanya. “Kalau ambil lagi di ATM, bagaimana
hidupku ke depan nanti?”, pikirnya. Lagi-lagi ia tersenyum bahagia dengan pola
pikirnya sekarang yang sudah mulai bisa berpikir sebelum bertindak. Tak dipikir
panjang lagi, ia putar balik menuju sebuah warung tegal yang cukup terbilang
murah yang terletak di belakang kampus dimana ia belajar dulu. Sepanjang
perjalanan menuju rumah makan sederhana alias warteg yang biasa mahasiswa menyebutnya, wina kadang tersenyum
mengingat kelakuannya dulu. Sebelum ia nekad pergi dari rumah, setiap harinya
ia selalu makan menu-menu yang sangat lezat di tempat yang lebih nyaman. Namun,
saat ini baginya yang penting perut terisi. Mahluk yang berada di dalamnya
tidak protes lagi.
“Ini
adalah keputusan yang harus kujalani, jalan yang harus kusyukuri dengan penuh
keikhlasan dimana aku dapat menemukan apa makna dari hidup.”
Begitulah cara kerja alam pikir Wina, meskipun raganya sedang menapaki jalanan,
namun mesin pikirnya tetap bekerja dengan lain topik.
***
Komentar
Posting Komentar