Trembling Crush
Part 3
by: Madhes Ai
Sang surya sudah berada tepat di pusat langit, cahaya yang dipancarkannya menyengat kulit anak adam dan hawa juga membakar tanah kota bertaqwa. Suara adzan sebagai tanda Allah menyeru hamba-Nya untuk sejenak bertemu dengan-Nya telah melantun dari setiap penjuru kota. Arlyta yang sudah memakai mukenanya telah bersiap untuk bersujud menyembah sang Khaliq. Ia dengan khidmat mendengarkan kumandang adzan dan menjawab setiap kalimat adzannya. Lalu iapun mulai melaksanakan shalat dzuhur dengan diawali do'a ketika mau shalat. Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat takbiratul ihram ketika mengangkat kedua tangannya, hatinyapun ikut tersentuh siap melaksanakan shalat dzhur sebanyak 4 kali raka'at. di setiap gerakan dan bacaan shalat, Arlyta benar-benar khusyuk. Gerakan yang ia lakukan, kalimat-kalimat yang ia ucapkan, juga pikirannya senantiasa melebur menjadi satu menghadap Ilahi, mempersembahkan wujud kesetiaan dan cintanya pada Rabb Yang Maha Agung. Tak ada lagi permasalahan yang beberapa hari ini mengganggu kestabilan hati dan pikirannya. Kini ia benar-benar hanya berdua dengan Tuhannya mencurahkan segala apa yang ia rasakan. Arlytapun menjadi begitu tenang.
Cukup sudah ia bersujud kepada Rabb-nya, dengan sigap ia mempersiapkan diri untuk mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar ternama di negerinya. "Mudah-mudahan hari ini situasi kelas nggak garing," ucapnya dalam hati. Bisa dibilang selama Arlyta mengajar dalam kelas sangatlah membosankan. Jangankan bagi orang lain, ia sendiri bisa merasakan hal itu. Namun, Arlyta juga belum mampu melakukan apa-apa untuk memecahkan kebosanan dalam kelas meski ia telah berusaha keras. "Menurut saya, kamu itu tidak pantas jadi guru." Tiba-tiba Arlyta ingat akan perkataan seseorang yang dulu pernah dekat dengannya dan tak lain ialah seniornya sendiri di organisasi yang ia ikuti. Sejenak mengambil nafas melepas keraguan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Iapun berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia dapat menjalani pekerjaannya sekarang. "Ok, tidak apa-apa. Ini baru pengalaman pertama aku mengajar dan ini adalah proses. Lama kelamaan aku juga pasti bisa seperti yang lainnya." Ia mengucapkan kalimat positif guna memacu semangat dalam dirinya. Senyumnyapun mengembang tanda ia siap melaksanakan aktivitasnya.
"Bismillahirrahmanirrahim, Lahaula Wala Quwwata Illa Billahi Al'Aliyyil 'adziim." Ia langkahkan kaki kanannya dari pintu kosan dengan mengucap do'a akan melakukan aktivitas dan keluar dari rumah. Iapun menyusuri gang dan jalanan di pinggiran rel menuju pinggir jalan raya guna menunggu angkutan kota yang akan membawa dirinya ke tempat dimana ia mengajar. Sepuluh menit sudah ia berdiri di bawah sengatan matahari, lima kali ia melabaikan tangan kirinya, lima kali juga ia bertanya pada supir angkutan kota apakah supir tersebut menuju tempat yang ia tuju. Namun, belum ada satupun yang searah dengan tujuan dirinya.
Arlyta melirik jam tangan di kanan kirinya, sedikit ia terkejut melihat jarum jam menunjukkan pukul 13:15 wib. Hanya lima belas menit lagi waktu yang tersisa sebelum ia mengajar. Meski gelisah namun Arlyta tetap berusaha tenang. Ketika itu, tiba-tiba cemas yang tak beralasan menghantam perasaan dirinya. Kini ia diliputi dengan kecemasan yang amat dahsyat, bayangan-bayangan masa lalu seolah siap menumbangkan keteguhannya. Arlyta tetap berusaha menenangkan dirinya. Namun semakin ia melawan rasa cemas, tubuhnya semakin bergetar, dari sela pori-pori tubuhnya nampak bintik-bintik cairan bening, dan rasanya begitu dingin. Arlyta tak tahu lagi harus berbuat apa, kini ia berdiri memeluk dirinya sendiri di pinggir jalan. Sambil sesekali melambaikan tangan pada angkot alias angkutan kota. Ia tak pedulikan tatapan orang-orang yang melihat dirinya. "Jalan Ratu Sari, Neng?", supir angkot menghampiri Arlyta yang tengah berdiri sedikit agak menundukkan kepala. Arlyta hanya menganggukkan kepalanya. Lalu ia pun melaju bersama angkutan kota tersebut. Selama perjalanan ke tempat kerjanya ia terus mengucapkan kalimat-kalimat ilahi yang dapat membuat dirinya tenang. Ia tak pedulikan tatapan para penumpang yang melihat lisannya berkomat-kamit mengucapkan kalimat-kalimat arab.
***
"Eh, Ada Miss Arlyta, siang Miss?", salam salah satu muridnya.
"Siang juga, Dinda", ia berusaha tersenyum.
Arlytapun memberikan senyuman pada customer service sebagai sapaannya. ia terus melangkah menuju ruangan pengajar. Sejenak ia duduk, ia lirik kembali jam tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 13:25, lima menit lagi ia mengajar. Ia masih berusaha menenangkan dirinya. Ia buka tasnya mengambil modul belajar, ia berusaha agar orang lain tak tahu akan apa yang sedang dirasakannya.
"Hei, Arlyta," Erni temannya mengajar menyapa dan menepuk bahunya.
"Ya, ada Er?" suaranya terdengar lemah.
"Ar, kamu sakit? Kenapa tangan kamu bergetar seperti itu?" tanyanya keheranan.
Arlyta hanya menyunggingkan senyum dan menggelengkan kepalanya. Erni hanya menatap temannya yang sulit dipahami olehnya. "Tuh,udah bel, masuk yuk, Ar!" Lagi-lagi ia tidak menyahut Erni, hanya menganggukkan kepalanya.
Seperti biasa Arlyta membuka kegiatan di dalam kelas dengan salam dan tegur sapa dengan murid-muridnya. Tak jarang diantara mereka lambat laut menyukai dirinya. Selain itu juga di awal ia selalu memberikan pacuan semangat para siswanya dengan kata-kata bijak, seperti siang ingi ia memberikan motivasi dengan ungkapan kalimat bijak. "Well, all of my beloved students, i know you that sometimes you feel bored or may be tired. But this is a process which must be passed through so you become a valuable person. I had ever heard words valuable, it may be motivation for you. Thomas Alva Eddison said that Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration. From his utterance we can infer that someone who is a genius, he is a work-hard man. He or she always give best his/her efforts. Jadi orang yang jenius bukanlah orang yang suka leha-leha dalam belajar tetapi orang yang jenius ialah orang yang tak pernah menyerah pada kegagalannya dan terus berusaha keras mencoba sampai ia berhasil dengan apa yang ditujunya. Ok, now we have to begin our discussion. Let's open page nineteen and fivty-two, please!"
Kegiatan belajar mengajarpun berlangsung hening hanya terdengar suara Arlyta yang agak lantang ketika memberikan penjelasan. Anak-anak muridnya hanya menutup mulut, memasang telinga, menatap Arlyta dengan seksama. Entah pikiran mereka manyatu atau tidak dengan raganya yang sedang ada di kelas pengajaran Arlyta, yang jelas Arlyta dengan penuh pengertian memberikan materi. Berusaha berdialog dengan murid-muridnya mendiskusikan tentang materi dan soa-soal pembahasan SBMPTN yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
Empat puluh menit telah berlalu, selama itu Arlyta memberikan materi, menjawab pertanya-pertanyaan siswanya mengenai hal yang berkaitan dengan materi. Kini saatnya Arlyta memberi kesempatan pada mereka untuk mengerjakan latihan soal-soal yang tertera dalam modul latihan. Para siswapun mengikuti apa yang diperintahkan oleh gurunya. Sementara itu Arlyta duduk kembali di kursinya sambil membuka modul latihan dan melihat kembali soal latihan yang telah dikerjakannya untuk dibahas nanti bersama anak-anak muridnya. Dalam hitungan kesepuluh menit, ketika ia mau berdiri mengecek siswa-siswanya, tiba-tiba ia merasakan getaran aneh lagi. Sela jari - jemarinya dirembesi oleh butiran cairan dingin. Cemas yang menakutkan hadir kembali di pikirannya. Perutnya mual dari lambung sampai ulu hati terasa ada yang menusuk. Dari dahinya sudah mengalir pelan cairan keringat. Arlyta tak kuasa menahan lagi, "My beloved students, please go ahead your work, and don't be noisy! I leave just a moment." Sontak murid-muridnya terkejut, merasa heran mendengar ucapan Arlyta yang terbata-bata. Ia bangkit dari tempat duduknya namun ketika kakinya melangkah dalam langkahan ketiga, tiba-tiba Bruk... seketika tubuhnya jatuh ke lantai. Ia tak sadarkan diri. Suasan kelaspun berubah menjadi gaduh dan diwarnai dengan kepanikan.
Keempat siwa, Dian, Rusydi, Syila dan Imam yang cukup dekat dengan Arlyta mengangkat tubuh Arlyta yang telah ambruk. Banyak orang yang memperhatikan kejadian tersebut. "Masya Allah, Imam ada apa? Siapa yang pingsan?" tanya pak Santoso, staff akademik.
"Mrs. Arlyta, pak."
"Ok, bawa dia ke aula saja."
Mereka membaringkan Arlyta yang tak sadarkan diri di aula. Terlihat kepanikan di wajah murid-muridnya. Silih berganti keempat siswa meberikan bauh aroma kayu putih di lubang hidung Arlyta. Namun, ia belum sadar jua. Syila meraba jari kaki Arlyta dan jari jemari kedua tanganya. Dirasakannya sangat dingin tak ada kehangatan dalam tubuhnya. Sponta Syila panik dan heran. "Dian kedua tangan dan kaki Miss Arlyta kenapa dingin sekali?" tanyanya ketakutan.
"Mungkin karena ia belum sadarkan diri." Lalu Dian ikut menyentuh betis Arlyta dirasakannya sama dingin sekali tak seperti biasa orang-orang pingsan. Lalu ia menatap wajah Arlyta yang pucat pasi. Disentuhnya leher dan wajahnya, "Aduh, panas!" teriak Dian kepanasan. Dilihatnya kulit telapak tangan Dian terdapat luka seperti terbakar. Semuanya salit bertatapan penuh tanya dan ketakutan.
"Bagiamana Miss Arlyta, apa ia sudah sadar?" tiba-tiba suara dari arah pintu aula mencairkan suasana yang penuh dengan kepanikan.
"Belum pak, Miss Ar... Miss Arly..."
"Kenapa dengan Miss Arlyta, Syila? kenapa kamu panik seperti ini?"
Lalu pak Santoso menghampiri tubuh Arlyta yang tengah terbaring lemah. Dilhatnya wajah pusat pasi. Lalu ia menyentuh telapak tangan dan kakinya dan dirasakannya dingin yang tak biasa. Ia mulai diliputi kepanikan. Lalu ia menyetuh dahi Arlyta dirasakannya panas yang amat sangat. Setengah ia berteriak. "Baik, anak-anak, tolong bantu saya untuk bawa Miss Arlyta ke mobil saya. Kita bawa beliau ke rumah sakit." Dengan patuh mereka melaksankan apa yang diminta oleh gurunya tersebut.
***
Sudah enam jam, Arlyta belum sadarkan diri. Terpasang di tangan kirinya selan infus. Tubuhnya masih terkulai lemah, wajahnya masih saja pucat pasi seperti tak ada aliran darah yang bekerja. Di sampingnya duduk Erni dan Pak Hendri teman kerjanya. Mereka berdua memang bisa dibilang akrab karena masuk kerjanya bersamaan dan trainingpun bersamaan.
"Mba, Mas, jika anda berdua mau pulang silahkan pulang saja. Jangan khawatirkan Arlyta!" Suara dokter yang berparas cantik memecahkan kesunyian dalam ruangan. Keduanya saling bertatapan dan memandang orang yang dihadapannnya keheranan.
"Perkenalkan, saya dr. Inggi, Arlyta pasien saya mba, mas. Saya sudah anggap dia seperti anak saya sendiri. Sudah enam bulan ini, dia berkonsultasi dengan saya."
"Dok, kalau boleh tahu Arlyta sakit apa?"
"Dia hanya tidak boleh terlalu diporsir tenaganya. Sedikit saja kelelahan dia akan seperti ini."
Erni dan Hendri manggut-manggut saja mendengar jawaban dr. Inggi. Setelah mereka merasa lega karena ada yang menjaga Arlyta, mereka berdua berpamitan dan memohon dr. Inggi untuk menjaganya. Dengan senang hati beliau pun menerima permohonan dari teman Arlyta.
Sembilan puluh menit sudah dr. Inggi menjaga Arlyta membacakan ayat-ayat suci al-quran di sampingnya. Meski ia tak ada jam jaga di rumah sakit namun ia tetap menjaga Arlyta yang sudah dianggap anaknya sendiri. Ketika ia membaca ayat ke tujuh puluh tiga dari surat Yaa-Siin handphone miliknya berbunyi. Namun ia tak hiraukan, ia lanjutkan terus bacaan ayat suci. Setelah ia selesai membaca surat yaa-siin ia melihat handphone. Nampak di layarnya ada lima panggilan tak terjawab dan dua pesan.
Ibu, sudah hampir larut malam. Kenapa ibu belum pulang? Ibu tidak ada jadwal untuk stand by malam ini di rumah sakit.
Ia tersenyum membaca pesan singkat yang dikirim oleh anak semata wayangnya. Lalu ia menelpon putera satu-satunya itu.
"Asslamu'alaikum, bu. Kenapa ibu belum pulang juga?" terdengar kepanikan.
"Wa'alaikum salam nak, tidak apa-apa. Malam ini ibu tidak pulang?"
"Kenapa bu?" tanyanya keheranan.
"Ibu harus menjaga pasien ibu, temanmu Arlyta."
"Arlyta, kenapa lagi dia bu?"
"Nampaknya ia terkena panic attack saat ia mengajar."
"Kalau begitu biar Hasyim yang jaga Arlyta bu."
"Tidah nak, kamu bukan keluarganya. Nanti apa kata orang lain. Biar ibu yang menjaganya besok siang kamu bisa menggantikan ibu menjaga Arlyta.
"Baik bu."
"Tidurlah, sudah malam. Jangan lupa makan."
Malam sudah berlalu, mentari sudah berada di langit kirang setinggi dua ujung tombak.Cahanya menelisik masuk ke kamar dimana Arlyta di rawat. Arlyta masih saja belum membuka matanya. Tubuhnya masih lemas tak berdaya. Di sampingnya kini ada Hasyim yang dua minggu telah menolongnya dari gelombang maut. Tak sadar, ia meneteskan air mata seolah merasakan apa yang diderita Arlyta. Hasyim memang belum tahu persis apa yang dialami Arlyta sehingga ia seperti ini. Dalam benaknya ia terus bertanya-tanya tentang Arlyta. Ia berusaha mencari tahu melalui ibunya yang tak lain ialah doktor psikolognya Arlyta namu ibunya tak mamu meberitahu dirinya karena hal tersebut merupakan privasi pasien yang harus diaga. Tak sengaja kedua bola mata Hasyim melihat buku berwarna hijau daun muda di atas berangkas di samping ranjang Arlyta. Entah mengapa buku tersebut menarik perhatian dirinya terasa ada tarikan yang kuat ke dalam lubuk hatinya untuk membuka lembaran dalam buku tersebut. Selama ini ia tak pernah menyentuh barang-barang yang bukan miliknya. Namun, hari ini ia melupakan akan hal yang telah lama dipegang teguh olehnya.
Ayah kita tak pernah bertemu secara langsung. Aku hanya bisa melihat ayah dalam foto. Aku tak tahu ayah seperti apa. Apa mungkin jika ayah ada di sampingku menemani perjalanan hidup aku, ayah akan menjadi sosok ayah yang selama ini aku dambakan. Akupun tak kan menjelma seperti ini. Menjadi perempuan yang lemah, penakut dan tak memiliki kepercayaan diri seperti halnya yang dimiliki oleh orang lain. Ayah aku hanya bisa menitipkan salam di setiap sujud dan do'aku. Ayah maaf jika aku tidak menjadi anak seperti yang ayah impikan.
Ibu, kenapa kau terlalu memercayakan aku pada ayah tiriku yang jelas-jelas telah menghancurkan aku bu. Ibu sesungguhnya aku ingin bercerita tentang aku ketika ditinggal ibu selama satu minggu saat aku masih berusia lima tahun. Tapi aku takut bu, toh pada dasarnya ibu lebih percaya dengan suami ibu yang kedua bukan aku. Terkadang aku berpikir ibu bukanlah ibu kandungku sendiri karena ibu selama ini apalagi saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar ibu selalu memarahi aku. Ibu tahu? Apa pengaruh dari sikap ibu selama ini terhadapku. Aku menjadi seperti orang yang tak punya rasa percaya diri untuk menjalani kehidupan ini, aku menjelma seperti orang yang memiliki dunia sendiri yang tak bisa dimengerti oleh orang lain, dan aku selalu nampak meberikan muka yang selalu dirundung duka yang amat mendalam. Itu semua berawal dari kesalahan ibu dalm membesarkan aku yang penuh dengan kekerasan. Rasa kasih sayang yang ditunujukkan dengan cara yang tidak sopan dan lembut akan berakibat fatal bagi perkembangan seorang anak bu. Semoga ibu tidak mendidik anak-anak ibu dari ayah tiriku seperti ibu mendidik aku. Maafkan aku bu, aku belum bisa menemui ibu.
Baru saja, Hasyim akan melanjutkan bacaan pada alinea ke tiga, tiba-tiba terdengar jeritan di hadapanya. " Pergi, Pergi jangan ganggu aku lagi. Cukup hentikan semua ini ya Rabb." Arlyta menjerit dalam keadaan tak sadar. Alam bawah sadarnya disesaki dengan bayangan-bayangan masa kecilnya yang sangat mengerikan. Nampak kisah masa kecilnya yang sedang disekap oleh ayah tirinya sendiri di dalam kapar ketika ia akan dilecehkan kehormatannya. "Ibu, ibu tolong aku." Lagi-lagi ia menjerit kali ini ia minta tolong memanggil ibunya. Ia terus berjuang keluar dari alam bawah sadar yang sangat menakutkan namun bayangan masa kecilnya terus menghampiri. Saat itu ia terus melawan ayah tirinya ingin bebas dari sekapan tangannya. Untung saja saat itu neneknya Arlyta datang mengetuk pintu rumahnya hingga ia pada akhirnya bebas.
Tubuh Arlyta semakin menegang, bergetar amat dahsyat. Tak pernah dialami oleh pasien manapun. Pertama kalinya dr. Inggi menangani pasien seperti ini. Ia juga tak bisa membendung air matanya, pada akhirnya setiap melihat Arlyta kambuh seperti ini dia menangis tak tega melihat gadis sebaik Arlyta harus menanggung penderitaan mentalnya sendiri. "Ya Rabb aku mohon bebaskanlah dari rasa sakit yang berlebihan seperti ini." Lagi-lagi Arlyta dalam igauannya memohon dengan kesakitan. dr. Inggi mencoba untuk menenagkan Arlyta, membantu Arlyta untuk sadar. "Arlyta, ingat Allah nak, sadarlah nak." Perlahan Arlyta mulai tenang, ia tak berontak lagi dalam keadaan tidak sadar. Tubuhnya mulai melemah tak bergetar lagi, matanya perlahan membuka tenang. Bola matanya menjelajahi ruangan, menatap satu persatu orang-orang yang ada di sekelilingnya. Ditemukannya dr. Inggi, lalu ia, " Dok, a.. aaku..". "Arlyta, istirahatlah dulu. Jangan kau pikirkan hal-hal yang dapat membuatmu sakit. Disini ada saya dan juga Hasyim temanmu, nak." Arlyta hanya terdiam dan menangis lemah. Dicumnya kening Arlyta oleh dr.Inggi tanda sebagai kasih sayang seorang Ibu. Melihat akan hal itu, hati Hayim sangat tersentuh. Perasaannya terhadap Arlyta semakin menjadi. Dia ingin menjalin hubungan bukan hanya sebatas persahabatan namun ikatan suci yang dapat menjaga Arlyta, meringankan beban-beban penderitaan yang selama ini ditanggungnya sendirian.
***
Dua hari setelah Arlyta keluar dari rumah sakit, ia masih nampak murung bahkan ia izin tidak mengajar dengan alasan ia disarankan oleh dokter untuk istirahat terlebih dahulu. Banyak sms dari teman-teman dan murid-muridnya menanyakan keadaan dirinya.
Miss apa kabar? Bagaimana keadaan Miss sekarang? Miss kenapa pihak rumah sakit tidak mengizinkan kita untuk mengunjungi Miss?
by: Dian, Rusydi, Imam dan Syila. We are miss you.
Baru saja ia mulai mengetik di keypad handphone-nya mau membalas pesan singkat siswanya tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Iapun langsung mengenakan pashmina dan berlari menuju pintu. Dibukanya pintu dengan pelan, ia terkejut dengan sosok yang ada di depannya.
"Hai Arly, gimana keadaan kamu sekarang?"
"Oh, Alhamdulillah baikkan sekarang," Arlyta masih saja heran dengan kedatangan Hasyim.
"Kamu hari ini masih free tidak ada jadwal mengajar?"
"Iya, kenapa kak?"
"Boleh aku minta tolong?"
"Oh, boleh. Mau minta tolong apa?"
"Temani aku beli novel yuk!"
"Kapan, sekarang?"
"Tahun depan, ya sekaranglah Arly." Jawab Hasyim dengan gemas. "Sudah sana kamu siap-siap.
"Ok, tunggu di luar ya!"
Hasyim tersenyum geli melihat perilaku Arlyta. Tak habis pikir ia akan bertemu dengan seorang gadis yang sangat polos seperti Arlyta. "Dia gadis luar biasa meski memiliki pengalaman pahit yang tak selayaknya ia alami," pikirnya.
Mobil yang dikendarai Hasyim dan Arlyta melaju, meninggalkan kosan Arlyta menuju kota industri dimana terdapat mall yang akan dituju oleh mereka berdua. Arlyta nampak cantik dengan pashmina yang memiliki dua warna yaitu gold dan merah agak tua. Ia nampak elegan dan islami. Raut wajahnya sudah mulai berseri tanda ia sudah mulai sembuh dari rasa sakitnya kemarin. Ia makin cantik dengan celana bahan warna hitam dan baju yang terbuat dari bahan shiffon warna gold serta blezeer semi formal warna merah marun. Sedangkan Hasyim tak kalah kerennya ia mengenakan kaos semi formal berwarna biru dongker dan celana jeans berwarna hitam. Jika orang-orang mlihat mereka berdua menyangkan mereka sepasang kekasih bukan sebagai sahabat satu sama lain.
"Kak, emangnya kakak mau cari novel bergenre apa? Kenapa mesti ajak aku?"
"Sayamau cari novel bergenre psikologi dan temanya tentang perjuangan. Biasanya kamu pintar dalam memilih hal itu. Kamu pecinta novel bergenre seperti itu kan?"
"Apa? Kakak makan apa tadi siang?"
"Makan batu." Arlyta ketawa kecil, "Kenapa puas tah?"
"Ya nggak lah kak. Aku hanya heran tiba-tiba kakak mau beli novel bergenre psikologi yang kebanyakan orang anggap itu novel lebay apa lagi orang seperti kakak yang selalu mengedepankan logika dibandingkan dengan rasa."
"Bisa saja kamu. Yah, saya juga punya rasa Arly, kita sama-sama manusia kan?"
"Hmmh iya juga sih."
"Udah ah, kamu bikin aku gemas saja. Turun yuk!"
Tak terasa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Mereka berdua turun dan menuju ke salah satu book-store yang ada di salah satu gedung pusat perbelanjaan di kota industri. Arlyta mulai menjelejahi rak-rak buku yang bertengger novel-novel karya penulis ternama baik penulis dalam negeri ataupun novel karya terjemahan penulis mancanegara. Satu persatu bersama Hasyim, Arlyta menyisir novel. Mereka memerhatikan mulai dari cover, judul dan sinopsisnya yang paling penting yang tertera di cover belakang. Hasyim setia mendengar komentar akan perkiraannya terhadap novel yang sedang ditelitinya. Ia bahkan menikmati kebersamaannya bersama Arlyta. Sebelumnya ia tak pernah merasakan kenyamanan seperti ini. Tekadnya semakin kuat untuk mengungkapkan isi hatinya pada gadis pujaannya. Hasyim terus memandang wajah Arlyta yang sedang membaca sinopsis novel dari satu ke novel lainnya. Arlyta sangat sungguh-sungguh membantu Hasyim untuk mencari novel yang diinginkannya. Sebetulnya ini hanyalah strategi Hasyim untuk mengajak Arlyta jalan bersama. Karen Arlyta sangatlah susah ketika diajak jalan berbeda dengan yang lainnya.
"Kakak, aku rasa ini bagus. Didalamnya terdapat pesan mengenai perjuangan hidup, gimana kakak?"
Hasyim masih saja asyik memandang wajah Arlyta iapun tak sadar akan Arlyta yang bertanya pada dirinya.
"Kakak, kenapa melihat aku seperti itu?" Ditepuknya tangan Hasyim dengan novel yang sedang dipegang tangannya. Hasyim terperanjat kaget dan malu. "Eh, iya ada apa?" Arlyta terdiam sejenak ia menampakkan rasa kesalnya.
"Arly, jangan cemberut gitu dong, maafin kakak." rayu Hasyim.
"Tahu ah, ini novelnya kalau menurut aku ini bagus sesuai yang kakak cari." Jawabnya dengan ketus.
"Ok, Arly. Terima kasih. Yu kita bayar ke kasir!"
Arlyta bertambah heran dengan kelakuan Hasyim sejenak ia mematung namun dengan cepat membuntuti langkah Hasyim.
"Arly, kita cari makan yu, kamu laper juga kan?"
"Hmmh, terserah kakak saja."
"Arly, kamu masih marah sama kakak? Kakak minta maaf kalau begitu."
"Kenapa harus minta maaf, emang kakak punya salah apa sama aku?"
"Ya, maaf atas kejadian barusan. Kamu masih berbicara ketus itu tandanya kamu marah."
"Huffh iya aku kesal sama kakak, kakak tidak seharusnya bersikap seperti itu. Aku nggak suka, Aku bukan..."
"Iya. Maafin kakak ya, Arly."
Arly hanya menganggukkan kepala. Memang tak mudah bagi Arly untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sejak itu Arly terdiam lagi. Ia hanya menganggukkan kepala ketika diajak hasyim untuk melanjutkan kegiatannya. Pada akhirnya Hasyim dan Arly berlabuh pada tempat makanan di dekat toko buku tadi. Arlyta masih saja diam membisu. Ia hanya mendengarkan Hasyim berbicara.
"Arly kamu mau nasi goreng tri medan gak? Ini kesukaan kamu ya, kan?"
"Terserah kakak saja, aku ikut saja."
Hasyim hanya tersenyum getir melihat respon Arlyta, iapun langsung memanggil waitress untuk memesan makanan. "Mas, nasi goreng tri medan dua, jus jeruk dua juga." pesan Hasyim. Waitress tersebut langsung kembali menyiapkan pesanan costumernya.
Arlyta memandang keluar berusaha melepaskan kekesalannya pada Hasyim. Lalu ia melihat ke langit di luar sana, nampak lembayung senja yang begitu indah. "Senja, kau telah datang menyapaku. Janganlah cepat kau berlalu meninggalkan aku. Temani aku yang sedang kesepian." Tak sadar Arlyta mengucapkan kalimat yang dapat menyentuh hati Hasyim.
"Arly, kenapa kamu merasa sepi. Aku sedang bersamamu Arly," kata Hasyim dengan lembut. Arlyta hanya diam. Diusapnya air mata yang sudah tak bisa lagi ia bendung. "Arly, maafkan atas kejadian tadi. Kakak tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan kamu."
"Iya tidak apa-apa. Mungkin aku terlalu trauma dengan masa lalau. Maafin Arly juga, kak".
"Kamu tidak salah apa-apa Arly. Ada yang ingin saya katakan sama kamu Arly. Sebelumnya kakak minta maaf jika perkataan kakak nanti menyakiti hati Arly. Kakak tak ada maksud untuk membuat Arly sedih apalagi menangis terbebani. Kakak mengatakan ini dengan maksud untuk beribadah pada Allah menyempurnakan keimanan kita kepada-Nya. Arly, sebetulnya sejak pertama kita bertemu kakak sangat tertarik dengan kamu. Kakak ingin tahu segalanya tentang kamu, tentang perjalanan hidup yang telah kamu lewati. Sejak saat itu juga ada getaran aneh yang tak pernah kakak rasakan. Mungkin kedengarannya gombal tapi Arly ini benar-benar yang dirasakan kakak. Kakak tidak bisa menampik lagi perasaan yang semakin tumbuh tiap harinya. Arly, kakak mencintai kamu, menyayangi kamu, dan kakak ingin menjalin cinta kita dalam ikatan suci dalam indahnya mahligai perkawinan dan mahligai pernikahan yang diridhai Allah swt juga direstui orang tua kita. Arly, kita sudah cukup saling mengenal. Kamu bersedia menjadi istri dan ibu dari anak-anakku. Kamu bersedia Arly?"
Terdengar isak tangis Arlyta. Ia hanya menundukkan kepala. "Arly, aku mohon pandang mata aku. Jawab pertanyaan aku. Kamu bersedia menikah dengan saya?" pinta Hasyim dengan lembut.
"Tapi itu tidak mungkin kak. Kakak lelaki yang baik dan sholeh tak pantas menikah dengan perempuan seperti aku, selain itu juga aku.. aku ta...", tiba perkataannya terpotong oleh Hasyim.
"Arly, setiap orang punya masa lalu entah itu mengerikan, kelam ataupun indah. Arly, kakak tahu tentang masa kecil kamu yang berakibat fatal terhadap perkembangan mental kamu. Kak harap kamu mau menerima kakak. Kakak sebelumnya mohon maaf sama kamu karena telah lancang membaca buku harian kamu yang tergeletak di atas berangkas tempo hari ketika kamu sakit. Jangan anggap cinta dan tujuan kakak untuk menikahi kamu karena kasihan dan iba terhadap kamu. Tidak sama sekali Arly. Kakak ingin menikahi kamu karena Allah semata dan ingin mengikuti sunnah Nabi kita."
"Kenapa kamu mau menikahi perempuan seperti aku kak? Di luar sana masih banyak perempuan yang lebih baik dari aku. Selain aku trauma dengan masa laluku, aku takut lelaki yang menjadi suami aku, terbakar oleh api dendam yang masih menyala dalam jiwaku. Dan aku menyakiti lelaki yang menjadi suami aku. Itu tidak bisa aku bayangkan."
"Arly, saya memang tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk memadamkan api dendam yang ada dalam hatimu. Saya juga tidak bisa menghapus trauma atas apa yang telah menimpamu namun aku akan berusaha untuk menjadi imam yang baik bagimu, menyejukkan jiwamu dengan sikapku yang didasari agama. Aku akan berusaha menjadi suami yang terbaik bagimu dan menjadi ayah terbaik bagi anak-anak kita kelak."
"You are stupid man, kak Hasyim," jawab Arly terharu.
"Saya akan lebih bodoh dan gila jika saya tidak dapat memiliki kamu dan menghabiskan waktuku bersama perempuan yang dianugerahi ketabahan seperti yang kau miliki. Kamu bersedia menemani hidupku, kamu bersedia menikah denganku, Arly?"
"Jika kau sudah yakin dengan tekad kakak, aku siap kak. Dan juga apa ibu kakak menyetujui hubungan kita, ibu tahu segalanya tentang aku?" Hasyim tersenyum bahagia dan menganggukkan kepala namun ia belum bisa memeluk Arlyta. Dirasakannya ada seseorang yang mengecup keningnya, "Tentu ibu setuju nak, Kau adalah puteri ibu juga." Kedua terkejut dengan kehadiran dr. Inggi yang tak lain adalah ibu Hasyim dan psikolog Arlyta. Senyumanpun merekah dari ketiga insan yang diliputi oleh rasa bahagia. Kini Arlyta mendapatkan cinta suci dan sejati seperti apa yang telah didambakannya selama ini. Senja itu menjadi catatan terindah dalam hidup Arlyta dan senja terindah yang pernah dilewatinya.
The End.
Komentar
Posting Komentar