Romansa Ungu



Oleh Madhes Ai

Bola api tepat di pusat langit, cahayanya membakar tanah kota Asmaul Husna menyemarakkan bau tanah khas kota. Lalu lalang kendaraan dan manusia hiasi jalanan dalam potret siang. Sementra itu, gadis berhijab merah muda tengah memusatkan ke dua matanya pada layar notebook miliknya. Ia tengah sibuk mencari informasi lowongan kerja dengan bantuan mbah google yang selalu menjadi andalan setiap orang di era digital dan teknologi ini. Telunjuknya masih saja sibuk memindahkan kursor dari satu website ke website lain yang memuat informasi loker alias lowongan kerja. Hampir dua jam lebih lamanya ia berkelana di dunia maya untuk mendapatkan informasi yang dimaksud, namun belum saja mendapatkan hasilnya. “O, my God, this is a real life what I have to be undergone. How difficult that seeking for a job.” Ya, inilah kehidupan baru yang harus dijalani Aqilah. Ia sudah memutuskan untuk melepas dirinya dari kedua orang tua. Ia tak mau lagi mendapatkan apa yang diinginkan dirinya hasil dari bantuan ataupun pemberian orang tua. Bukannya ia tidak mensyukuri apa yang dimiliki akan tetapi tekad bulat yang sudah tertanam dalam jiwanya untuk lebih mandiri sangatlah kuat. Betapapun kerasnya hidup di luar sana tak mematahkan niatnya. Ia selalu siap dengan resiko yang ada.
            “De, yang namanya nyari kerja zaman sekarang tu susah. Apalagi gak punya relasi!”, ucap Nilam suatu hari yang tak lain sepupu Aqilah. Diteguknya kembali kopi kotak yang ada dihadapannya. Sejenak ia menarik nafas, beralih pandangan dari layar notebook pada orang-orang disekeliling. Diamatinya mereka dengan seksama, ia tersenyum sendiri melihat tingkah orang yang berbeda-beda. Ada yang tengah asyik bercengkrama dan bercanda bersama teman-teman kampus membicarakan akan hal-hal yang menyenangkan menjadi seorang akademis entah itu dengan kegiatannya masing-masing ataupun huru hara menikmati kebebasan sebagai seorang mahasiswa. Ada juga yang sedang sibuk mencari tugas dengan bantuan mbah google gratis. Karena mini-market di sini menyediakan wi-fi gratis. Tentu saja ini menarik perhatian para mahasiswa yang identik dengan keinginan free dalam hal apapun apalagi yang menyangkut finansial. “Suatu saat mungkin kalian akan menyesal telah menyia-nyiakan waktu yang kalian miliki untuk senang-senang dan melupakan kewajiban utama tugas kalian sebagai seorang penuntut ilmu. Ah, andai saja waktu bisa diputar kembali aku tak kan pernah melewatkan waktuku dengan kesenangan sementara. Akan kuhabiskan waktuku mereguk ilmu-Nya entah tentang pengetahuan teori ataupun pengetahuan akan kehidupan ini,” gumamnya dalam hati. Ada rasa penyesalan yang menelisik hati dan pikirannya.  
            Aqilah memposisikan pergelangan tangan tepat di depan matanya. Ia sedikit terkejut melihat jam menunjukan pukul 01.30 siang. “Ah, pantas saja masa dalam perutku demo terus.” Itulah kalimat yang sering diucapkan ketika dirinya merasa lapar. Aqilah lalu menarik tas yang di sampingnya. Ia mengeluarkan dompet cokelat tua kemudian ia membuka dompet miliknya itu. Sungguh Aqilah terbelalak melihat isi dompet yang hanya terdapat selembar kertas ungu. Di atasnya tertera gambar sultan Mahmud Adaruddin II salah satu pahlawan bangsa. Di bagian belakang kertas ungu terdapat sebuah gambar rumah adat yang dikenal dengan rumah limas. Dengan hati kecewa, dikeluarkannya kertas ungu tersebut yang tak ayal uang sepuluh ribu rupiah. Diletakannya di hadapan dirinya. Ia memandangi dengan binar mata menyedihkan juga rona wajah memilukan. Ia tak sadar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang lain, cukup lama ia memandangi uang itu dengan tampang miris. “Ya Rabb, bagaimana ini? Uangku tinggal satu lembar lagi dan ini hanya sepuluh ribu! Bagaiamana hidup aku ke depan kalau aku terus-menerus menguras tabunganku yang tersisa sementara pendapatanku belum ada?”
            “Hahaha, baru terasa hidup itu susah bu sarjana!”. Aqilah spontan melirik pada pemilik suara dan juga pemilik tangan yang telah menepuk pundaknya.
            “Kak Zain, sejak kapan di sini? Ngetawain lagi, bikin aku malu aja!” sapanya dengan ketus.
            “Kamu yang malu-maluin. Baru kali ini punya junior gak tahu malu.”
            “Hah, apa maksud kak Zain?” sewot Aqilah.
            “Lah, tadi! Emang sikapmu itu tidak menjadi PPO alias pusat perhatian orang lain?”
            Aqilah tidak menjawab, ia hanya memicingkan mata tanda tak menyukai pertanyan Zain, senior di kegiatannya dulu. “Kak Zain, lantas nasib aku bagaiamana ini?”
            “Kenapa? Belum makan? Lah, itu uang cukup buat makan, mah.”
            “Ya cukup buat sekali makan tapi buat ke depannya gimana coba? Kak Zain punya info loker gak?” cerocos Aqilah.
            “Kamu ini bagaimana? Orang tuamu cukup punya kedudukan juga di kota ini apa salahnya minta dicariin kerja? Manfaatin apa yang kamu miliki!”
            “Kak Zain!”, gertak Aqilah.
            “Ya, kalau kamu tetap sama tujuan kamu nikmatin prosesnya. Semua itu gak da yang instan, Aqilah. Tapi kamu juga sebaiknya harus ingat, syukuri apa yang kamu miliki!”
            “Maksud Kak Zain?”
            “Ya, kamu punya orang tua yang cukup banyak kenalan baik itu di instansi pendidikan ataupun perusahaan. Apa salahnya minta bantuan sama bapakmu. Ya, minimalnya info lowongan guru ataupun loker di perusahaan.”
            Lagi-lagi Aqilah tidak merespon perkataan Zain. Ia sangat tidak menyukai akan hal dirinya yang selalu dihubungkan dengan kedudukan orang tuanya. Ia selalu tak nyaman apabila ada orang yang memandang dirinya karena kesuksesan yang dimiliki kedua orang tuanya terutama bapak Aqilah. Hal ini sama saja, ia hanya dijadikan bayangan ayahnya saja. Oleh karenanya, ia memutuskan untuk pergi dari rumah mencari penghidupan sendiri. “S.Pd, Susahnya Pencari Duit, ada benarnya juga!”, gumamnya dengan suara melemah.
            “Hahaha, udah gak usah diratapi gitu!”
            “Siapa juga yang meratapi?”
            “Hayu makan!”
            “Kak Zain, mau traktir aku?”, Aqilah bersemangat kembali. Zain hanya bisa tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Aqilah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lelah yang Tak Kunjung Sirna, Hempaskan dengan Elegan!

The Importance of English

Still miss your born