Bagian Satu
“Mira, kamu yakin bakal ikut kegiatan itu lagi?”
“Iya Rin, aku tertarik dengan kegiatannya, ya walaupun aku belum tahu secara mendalam.”
“Tapi Mira, kamu lagi….”
“Udah lah Rin, kamu jangan khawatirkan kondisi aku!”
Rinda hanya bisa menghela nafas mendengar kebulatan tekad temannya. Ia khawatir akan kondisi Mira yang sedang labil. Mira memang sedang tidak stabil baik keadaan fisik maupun mentalnya. Satu minggu yang lalu ia baru saja kehilangan orang yang sangat dicintainya, dan hal itu cukup membuat Mira tertekan. Hal yang paling disesalkan olehnya, di saat-saat terakhir sang kakek menghembuskan nafasnya, Mira tak ada disisinya. Ia sangat kecewa pada keluarganya karena tidak ada yang memberi tahu dirinya, bahwa kakek Mira sudah lemah. Iapun hanya termenung ditengah keramaian lalu lalang orang, merenungi akan nasibnya yang tak dapat melihat wajah kakek untuk terakhir kalinya.
***
“ Kepada seluruh Dewan Kehormatan dan Dewan Khusus serta panitia diharapkan memasuki ruangan yang telah disediakan!”
“Acara apa lagi? Udah malem juga!” ketus Mira.
“Ngobras teh alias ngobrol santai.”
“Oh, kirain ada acara apa lagi, eh nama kamu siapa aku lupa?”
“Devi, kamu?”
“Aku, Mira. Semester berapa?”
“Semester satu.”
Mirapun seperti biasa kembali pada khayalannya sendiri, menembus lorong-lorong kekecewaan yang ia dapati selama ini. Ia memang terlihat seperti gadis biasa, namun jauh di lubuk hatinya ia menyimpan segudang kekecewaan. Ia tak mudah memercayai seseorang yang belum ia kenal jauh. Bahkan ia kecewa dengan dirinya sendiri, sampai saat ini ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri dan itu membuat Mira hidup dalam ketidak jelasan. Hari-harinya selalu diselimuti dengan rasa bersalah yang mendalam. Ia selalu menyalahkan dirinya dan menjas bahwa dirinya adalah mahluk yang paling menyebalkan dan tak pantas untuk dihargai. “Ya Allah, sebenarnya apa yang kumau? Ini adalah keputusanku, tapi mengapa aku belum bisa jua merelakannya.” Lirih Mira dalam hati.
Sepuluh menit sudah berlalu, acara ngobraspun sudah di buka oleh MC yang memiliki suara lantang dan nyaring. Sepuluh menit juga Mira larut dalam khayalannya, ia tak sadar atas pembukaan yang telah berlalu. “Huc..fh konsentrasi, konsentrasi, buang semua prasangka burukku. Akupun bisa menjadi orang yang terbaik untuk diriku dan keluargaku. Aku tak seperti apa yang dia kira,” ucap Mira sambil menampar-nampar pipinya sendiri dengan pelan.
“Hai kamu yang pake kerudung abu, kenapa nampar-nampar pipi sendiri?”
Mira spontan kaget dengan teguran yang dilontarkan padanya. Ia hanya menggelengkan kepala dan mengembalikan posisi duduknya ke posisi awal.
“Panitia sepertinya, calon anggota kita pada ngantuk semua. Sebaiknya ini acara sudahlah dibubarkan saja! Untuk apa kita lanjutkan kalau nantinya tak ada yang mau mendengarkan?” Lanjut pria berkaca mata. Tanpa disadari seluruh mata tertuju pada Mira.
Mira hanya terdiam seolah tak menghiraukan tatapan para seniornya. “Tu orang rese amat sih pake nyindir-nyindir segala. Ga da kerjaan lagi pake pada nengok sama aku.” Gerutu Mira dalam hati. “Ya Tuhan tolong aku, sebenarnya ada apa dengan diriku ini? Kenapa aku sama sekali tak bisa bergabung dengan dunia mereka? Kenapa aku selalu asyik dengan duniaku sendiri? Hapus kata-kata yang telah melumpuhkan aku dari memoriku. Aku ingin hidup seperti orang lain!” Saat obrolan antara calon anggota dan senior berlanjut, Mira masih tetap berdialog dengan dirinya sendiri. Ia sama sekali tak menyimak obrolan dalam forum itu.
“Mir, kamu punya masalah?”
“Hmm, nggak ko Dev.” Jawab mira dengan nada kaget.
“Tapi ko kamu kelihatannya kaya yang punya beban?” Tanya Devi keheranan.
“Dev, apa aku kelihatan seperti orang aneh?”
“Ga ko Mir, cuman saya perhatiin dari tadi kamu ngelamun terus. Udah fokus, ntar pas ditanya gak bisa jawab. Hati-hati say di sini salah dikit bisa jadi masalah.” Mira termanggut-manggut sambil memikirkan kata – kata yang diucapkan teman barunya.
“Kamu yang pake kerudung abu, siapa namanya?”
“Mira, Kang.”
“Dari mana kamu?”
“Dari Sumedang.”
“Jauh amat, kamu nyasar?, Kamu kenapa masuk Kepalangmerahan?”
“Ya aku ingin memperdalam pengetahuanku tentang Kepalangmerahan.”
“Kalau hanya sekedar ingin memperdalam pengetahuan tidak usah masuk Kepalangmerahan! Dialog dengan pengurus kan sudah cukup.”
“Ya tidak begitu juga atuh kang.”
“Apa lagi coba, kamu ingin tahu tentang masalah PP, PMR dan sebagainya? Itu tidak harus masuk ke UKM ini. Buku-buku tentang PP, PMR, banyak di Markas. Tinggal pinjem pada pengurus, sudah selesai kan?”.
“Ya kalau seperti itu hanya sekedar tahu aja, dan itu hanya tidak tersedia di Kepalangmerahan, masih bisa dicari di internet ataupun di perpustakaan kalau hanya ingin tahu masalah PMR, lagipula aku sedikitnya sudah tahu tentang hal itu. Namun, apa salahnya bergabung dengan dunia relawan yang dikenal dengan kesukarelaannya? Jujur ya!”
“Oh iya harus jujur itu!” Serentak panitia dan senior lainnya menjawab kata-kata Mira.
“Aku tertarik dengan kegiatan sosial sejak SMA, dan dengan KSR atau Kepalangmerahan ini sejak SMA pula.”
“Emang kamu tahu apa, dari mana tahu tentang KSR kampus Jingga?” Timpal pria yang bersuara kecil, namun kata-katanya cukup memutar otak.
“Ga sih waktu SMA kan pernah ada pengurus KSR ini yang jadi pemateri di acara DIKLATSAR yang saya dan kawan-kawan adakan. Dari situ pintu hati saya terketuk dan dipenuhi dengan rasa keingintahuan.”
Penyakit lebay Mira mulai kambuh, namun cukup mencairkan suasana yang lumayan membuat calon anggota tegang, atau mungkin tepatnya mereka sudah lelah dan ngantuk. Dari sorotan mata mereka sudah terpancar rasa bosan dan jenuh.
“Ok, baiklah…” pria berkaca mata itu terhenti saat melihat tatapan sinis Mira.
“Kenapa kamu kerudung abu, siapa kamu namanya? Ada yang salah dengan saya?”
“Mira, kang.”
“Iya kenapa kamu?”.
“Ga ko, hanya pemborosan kata”, jawab Mira dengan singkat.
“Maksudnya?”
“Iya tadi kakang, udah bilang ok, baik, pula. Itu kan kalau dalam bahasa Indonesia pemborosan kata namanya.”
Pria berkaca mata itu hanya tertawa geli dengan jawaban Mira. “Ok, kita lanjutkan, tadi sampai di mana? Gara-gara kamu Mira saya lupa mau ngomong apa? Ow..h iya, jadi terlepas dari semua alasan yang kalian katakan seperti tadi , ada yang bilang saya masuk KSR ingin memperdalam pengetahuan, ingin mencari jati diri, ingin mencari pengalaman dan teman-temannya. Sebenarnya ada inti dari tujuan kita semua mengapa kita ikut aktif dalam suatu komunitas atau organisasi. Kita menginginkan nilai 100 dalam hidup ini, iya kan?. Tidak hanya yang berkecimpung di ukm ini saja tapi di ukm atau organ lain pun sama kita semua ingin mencapai nilai 100 atau nilai yang sempurna dalam hidup. Nah untuk mencapai semua itu, tentu saja kita hanya bergelut di suatu bidang saja apalagi hanya menjadi seorang mahasiswa yang kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah pulang. Pelajaran akademis mungkin saja itu hanya bisa cukup dibaca, tapi pelajaran tentang realita kehidupan tak kan bisa didapat dibangku perkuliahan. Kita harus terjun langsung dan menyelaminya, dan satu hal lagi kita harus siap mengabdi atas organisasi yang kita ikuti”. Papar pria berkaca mata.
“Devi itu siapa sih? Ceramahnya panjang lebar tapi kena juga sih di hati.”
“Oh itu, namanya kang Ali, kalau tadi yang nyemprot kamu yang suaranya kecil kang Handi.”
Mira hanya menyimak dengan seksama penjelasan Devi. Ia sedikitnya sudah lega dan mulai bersahabat dengan jiwanya. Perlahan-lahan pikirannya atas kejadian setahun silam tertutup di memorinya. “Ternyata ada benarnya juga ya lagu Opik, salah satu obat hati ialah berkumpul dengan orang shaleh atau orang yang berilmu”, renung Mira.
***
Komentar
Posting Komentar