Cinta dan Balas Budi

 Oleh:Madhes Ai

"Ris, aku harap hubungan kita tetap terjalin baik meski kita sekarang berada di kota yang berbeda. Semoga kita bisa menjadi harapan keluarga kita." Mariska tersenyum getir mengingat akan perkataan seseorang tiga tahun yang lalu yang sempat mengisi relung qalbunya. Terkadang ia tak habis pikir kenapa kekasihnya meninggalkan dirinya begitu saja tanpa ada gugur atapun hujan deras. Padahal mereka berdua telah mengikrarkan janji di atas hamparan pasir di tepi pamayangan. "Ah, ukir janjinya sih di atas pasir jadinya kebawa ombak deh," pikirnya, dia menggoda diri sendiri.
"Assalamu'alaiku, permisi," terdengar ketukan pintu dari luar. Mariska langsung menuju asal suara. Sontak ia terkejut melihat sepasang kekasih di hadapannya. Hampir saja ia mau jatuh namun ditahannya dengan kuat atas ketidaksiapan menerima kenyataan ini. Bibirnya mencoba tersenyum memberikan sapa pada kedua tamunya.
"Kakak Ris, ini undangan pernikahan aku dengan Kak Anwar. Aku dengar dari kak Anwar kalian berdua bersahabat baik. Datang ya kak!"
Mariska semakin terkejut dengan perkataan Ririn calon isteri kekasihnya lebih tepatnya mantan kekasih Mariska. Kenapa bisa-bisanya Anwar mengatakan hal seperti yang diucapkan Ririn.
"Kakak Ris, kenapa diam saja. Tidak mau mengucapkan selamat pada kami?"
"Hehe, iya maaf. Selamat ya Rin, Anwar semoga kalian jadi keluarga sakinah mawadah warohmah." Mariska berusaha kelihatan tegar. Ririn nampak bahagia sedangkan Anwar hanya diam saja. Dalam lubuk hatinya masih tersimpan nama Mariska cinta pertamanya yang tak sanggup ia lupakan. Namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa.

Anwar terpaksa menikah dengan Ririn karena ia merasa balas budi terhadap ayahnya Ririn yang telah membiayai kuliahnya. Bagaimana mungkin ia bisa menolak permintaan Juragan pete di kampungnya yang tak lain ialah  ayahnya Ririn. Lagi pula ia sudah berjanji pada almarhum ayah dan ibunya untuk mengabdi pada keluarga Pak Kholil, ayah Ririn. Dari hati yang terdalam sesungguhnya ia masih mencintai Mariska. Namun mimpi-mimpinya bersama Mariska harus kandas karena terhalang oleh rasa balas budi. "Ris, mungkin kau anggap aku penghianat, maafkan aku Ris." Ia genggam rasa sakitnya dalam hati sendirian.

Tiga bulan telah berlalu, tiga bulan juga usai dilewati hari-hari Anwar bersama Ririn. Nampaknya mereka bahagia. Di hadapan Ririn dan keluarganya Anwar selalu menunjukan bahwa ia sangat mencintai dan menyayangi Ririn. Namun, jauh dalam hatinya ia tersiksa dengan ikatan pernikahannya sendiri. Setiap malamnya ketika tidur bersama isterinya, ia teringat akan kenangan bersama Mariska. Hari-hari yang dulu dilewatinya berdua selalu menyapa Anwar dan buat Anwar merana. Seperti malam ini, ia terus menyebut nama Mariska hingga Ririn yang di sampingnya terbangun. "Kak, bangun kak!" Digoyahkannya tubuh Anwar. Sentak Ririn terkejut mendapati tubuh suaminya panas tinggi. Iapun langsung berlari menuju dapur mengambil handuk dan air dingin guna mengompres Anwar. Dua jam telah berlalu, namun tak ada ciri-ciri yang menunjukkan demam Anwar menurun. Yang ada panasnya semakin tinggi, beribu kali nama Mariska terucap dari bibir pucatnya. Melihat suaminya seperti ini, hati Ririn merasakan luka yang sangat pedih. Dipeluknya erat tubuh Anwar yang sedang panas tinggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyelami Makna Pendidikan

Lelah yang Tak Kunjung Sirna, Hempaskan dengan Elegan!

Garis Abu