Trembling Crush
Part 2
by: Madhes Ai
by: Madhes Ai
Mobil yang dikemudikan Hasyim melaju normal menyusuri jalanan kota industri menuju kosan Arlyta. Suasana dalam mobil hening hanya terdengar alunan lagu "Broken Angel" yang dibawakan oleh Arash dan Helena di Radio Hasyim. Arlyta memeluk erat tas yang dibawanya, ia menyandarkan kepalanya ke punggung kursi mobil dengan berbagai gejolak dalam hatinya. Sementara Hasyim mengemudikan mobilnya dengan tenang, sesekali ia menatap wajah perempuan di sampingnya. Dilihatnya ada genangan air yang terbendung di kelopak matanya. "Arlyta, boleh aku tanya sesuatu?", tanya Hasyim guna memecahkan kesunyian yang ada. Arlyta masih saja diam tak menyahut pertanyaan Hasyim. Hasyim menarik nafas dalam-dalam dan ia, "Arlyta, Arlyta, Hai, kenapa kamu melamun?" sambil ia menepuk bahu kanannya. Sekejap, Arlyta terkejut, ia hanya menyunggingkan senyum dan menggelengkan kepalanya.
"Emh, maaf Arlyta, boleh aku tanya sesuatu?"
"Ya, boleh."
"Kenapa kamu ke pantai sendirian? Apa yang kamu lakukan sampai kamu tak sadarkan diri? Maaf Arlyta, kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan kamu."
"Iya, nggak papa. Aku hanya menghilangkan penat saja."
"Kalau boleh tahu, kamu masih kuliah atau sudah bekerja?"
"Alhamdulillah, aku udah kerja."
"Dimana?
"Di tempat bimbel."
"Oh, jadi kamu guru?"
"Ya, begitulah."
"Kamu luar biasa Arlyta."
Pembicaraan merekapun mengalir begitu saja, tak ada lagi keheningan semuanya menjadi satu dengan suasana penuh tawa dan cerita. Satu sama lain saling berbagi kisah perjalanan pendidikannya. Hasyim dengan pendidikannya yang mengambil desain interior di salah satu universitas ternama di kota kembang yang dilanjutkan di universitas ternama di negeri tulip. Selain itu juga, ternyata Hasyim memiliki hobi di bidang fotografi, berkat keuletan dan ketertarikannya tak ayal karyanya luar biasa. Bahkan ia pernah mengadakan debut solo fotografi di negeri sakura dan karyanya sangat diakui oleh mancanegara.
Arlyta juga membagi kisahnya tentang perjalanan pendidikan yang telah ditempuhnya. Ya, ia mengambil pendidikan bahasa inggris di salah satu kampus di kota bertaqwa. Meski sebetulnya hal tersebut bukanlah pilihannya namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa manut apa yang telah disarankan oleh ke dua orang tua asuhnya. Lagi pula saat itu, Arlyta belum memiliki rencana matang untuk ke depannya setelah ia lulus kuliah. Ia beranggapan bahwa kuliah bukanlah sekedar untuk mendapatkan ilmu yang tujuan utamanya untuk mendapatkan pekerjaan. Ia memiliki keyakinan, ketika ia memiliki ilmu ia bisa kerrja di mana saja apalagi pekerjaan tersebut kalau sinkron dengan hati dan jiwanya. Namun, kedua orang tua asuhnya memiliki pandangan yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa kuliah untuk kerja, oleh karenanya mereka meminta Arlyta dengan paksaan yang tersirat, agar anak asuhnya mengambil jurusan pendidikan bahasa inggris dengan tujuan agar ia dapat menempatkan Arlyta bekerja dengan mudah. Memang, ayah asuh Arlyta memiliki sedikit banyaknya kewenangan di kota tersebut. Tak ada yang tahu dari keluarganya, anggapan seperti itu dapat merenggut senyuman dan mimipi-mimpi Arlyta yang sejak SMA dirangkainya. Bahkan, secara perlahan, seiring waktu berlalu karakter Arlyta yang super star, yang dulu memiliki tujuan brilian, pemberani hilang juga dimakan oleh batinnya yang tak dapat ia ungkapkan. Jiwanya telah terbelenggu oleh rasa kecewa yang terlalu mendalam hingga ia mengabaikan tujuan dan kewajibannya.
Satu jam sudah mereka menempuh perjalanan menuju kota di mana ia tinggal. Sedikitnya luka Arlyta tersembuhkan oleh pembicaraan mereka selama perjalanan. Kini raut mukanya memancarkan cahaya harapan. "Kak, setelah ini belok kanan, kemudian lurus saja dan berhenti di depan warung kecil itu." Arlyta menunjukan jalan menuju kosannya dengan ramah. Hasyimpun dengan senang hati mengikutinya. Ada kebahagiaan yang dirasakan Arlyta dalam hatinya, namun entah tentang apa.
"Ok, sampai sini. Kak, makasih ya untuk semuanya."
"Ok, never mind. Oh ya, Arlyta boleh saya minta pin BB kamu?"
"Hehe, aku tak punya kak."
"Kalau nomor hp?"
"Untuk apa?" selidik Arlyta.
"Ya, buat komunikasilah masa buat menggambar?", jawab Hasyim dengan canda.
"Oh, Ok kalau begitu." Arlytapun menyebutkan nomornya lalu ia turun dan pamit pada Hasyim.
to be continue....
Komentar
Posting Komentar