Faranisa



Part 1
            Oleh: Madhes Ai
Panorama malam kota bambu sangatlah menawan. Gemerlap lampu kota sepanjang jalan memanjakan pecinta indahnya pemandangan langit yang bertaburan bintang ditemani sang rembulan. Tak sedikit orang berjalan menyusuri trotoar hanya sekadar berjalan-jalan atau bahkan ada yang sengaja menikmati indahnya menyusuri jalanan kota dengan tujuan tertentu, entah berbelanja atau hanya sekedar makan malam di salah satu restoran ternama. Tak terkecuali lelaki berpostur tubuh tinggi nan rupawan, dengan langkah gontai menjejaki trotoar pejalan kaki lima menuju salah satu cafee di kota tersebut. Ia melepaskan penampilannya sebagai eksekutif muda sebagaimana yang dijalani siang hari. Siapapun tak akan menyangka bahwa ia seorang lelaki kaya raya dan pemegang saham terbesar di perusahaan bidang properti. Ia sengaja berpakaian sederhana dengan memakai celana jeans dan atasan kaos pendek yang dilapisi dengan jaket kulit berwarna cokelat. “Malam yang menggoda tuk melepaskan semua kelelahan,” gumamnya sambil menghembuskan nafasnya. Sudah lama, sejak ia memutuskan untuk bergabung dengan ayahnya di perusahaan, ia tak pernah menikmati indahnya saat-saat angin malam membelai lembut pecintanya.
Sejenak, ia terdiam berdiri di trotoar depan salah satu pusat perbelanjaan dengan mengamati lalu lalang jalanan. Pikirannya kabur mengembara pada sisi yang tak pasti. Dalam keramaian hatinya menjerit atas perkataan kemenakannya tadi siang. “Paman, kapan kau akan membawakan aku seorang bibi? Aku iri dengan teman-temanku, selain punya ibu mereka juga punya bibi ataupun tante yang baik hati.” Perkataan polosnya menggugah hati pria itu. Memang sudah cukup umur dia untuk menikah. Namun, ia belum saja mampu menerima seorang perempuan dalam kehidupannya. “Aku memang lelaki normal, namun aku tak siap menerima perempuan lain,” lirihnya dalam hati dengan waspada.
Sementara di seberang sana, seorang perempuan tengah asyik dengan tab-nya, sudah lebih dari satu jam ia berada di sudut cafee seberang dimana Hilman sedang berdiri. Selama itu ia bermain dengan imaji dan ditemani segelas ice coffee americano. Ia tak memedulikan dengan sekelilingnya, hanya sesekali ia menatap jalan melalui jendela kaca sebagai sumber inspirasinya untuk menuliskan sebuah cerita di blog milik pribadinya. Ini adalah rutinitas malam setiap malamnya ketika ia tak mampu lagi untuk mendamaikan pikirannya. Bayang-bayang masa lalu masih saja sering menghantui dirinya. Tak ada satupun orang terdekatnya yang mampu memahami apa yang telah dialaminya selama tujuh tahun. Ia telah kehilangan jati diri, hasrat dan mimpinya hanya dengan tirani lisan dari seorang pria yang mengaguminya.
Hilman celingukan mencari tempat kosong untuk duduk namun sayang ia tak mendapatkannya. Hanya ada satu kursi tersisa dan itu juga di hadapannya ada seorang perempuan berjilbab biru laut. Tak punya pilihan ia pun menghampiri perempuan tersebut dan berkata dengan sopan, “Mba, apa mba sedang menunggu seseorang?”.
“Tidak,” jawabnya singkat tanpa menoleh pada orang yang sedang berbicara.
“Boleh saya duduk di sini jika mba tidak keberatan? Saya tak bisa menemukan tempat lain, cafee ini sudah penuh,” jelasnya dengan posisi masih berdiri. Perempuan itu masih juga belum berpaling ke arahnya namun ia mengatakan, “Silahkan!” Hilman sedikit kikuk dengan keadaan seperti itu namun ia tak punya pilihan lain. Dengan setengah hati ia duduk bersama perempuan tersebut, lalu ia melambaikan tangan kepada waitres tanda untuk memesan. “Kopi expresso hangat 1 ya,” pintanya. Waitres tersebutpun mengangguk dan menuliskan pesanan pengunjungnya. Lalu ia berlalu meninggalkan mereka berdua.
“Aku ingin hubungan kita cukup sampai di sini kak. Terima kasih atas perhatianmu. Aku yakin kau akan menemukan perempuan yang jauh lebih baik dariku seperti yang kau inginkan. Kau pernah mengatakan kau menyukai perempuan yang cerdas, cantik juga dapat menerimamu dengan apa adanya.” Kata-kata seorang perempuan sepuluh tahun silam masih saja terngiang di daun telinganya. Ia mengatakannya dengan ketegasan tanpa memberi kesempatan Hilman untuk bertanya atau sekedar meminta penjelasan darinya. Namun ada keganjalan lain dari sorot matanya. Kedua bola matanya memancarkan ketakutan dalam diri perempuan tersebut. Namun Hilman tak bisa mengartikan ketakutan apa yang telah menghantui perempuan yang pertama kali membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Saat itu yang ia tahu, tatapan mata tersebut menyilatkan aura kegelapan dari perempuan di hadapannya bahkan ketika beradu pandang dengan matanya, ia menggigil. “Oh, Allah tolonglah diriku, pertemukan aku dengannya. Aku tahu aku sempat membencinya namun Kau juga tahu aku seperti itu karena aku mencintainya. Tak ada perempuan lain yang membuatku nyaman saat aku berhadapan dengannya.” Hilman terus merasakan pahitnya perasaan yang disebut cinta tanpa menyadari pesanannya sudah di depan mata. Iapun tersenyum geli dengan keadaan dirinya seolah-olah ia kehilangan akal sehat karena cinta seperti yang dialami remaja lelaki zaman sekarang.
Sekian lama jarinya menari di atas tab miliknya, ia pun tersenyum karena telah menyelesaikan suatu cerita di blog pribadinya dari imaji yang ia kolaborasikan dengan realita. Kepalanya menoreh ke arah kaca tepat ketika hilman sedang menatap kaca tersebut. Keduanya terbelalak mendapati sosok yang pernah hadir dalam kehidupan mereka, satu sama lain saling mengisi hari-hari mereka dengan bunga-bunga harapan dan tujuan masa depan. Mereka masih saja saling menatap dari bayangan kaca tanpa tanya dengan mata penuh dengan keterkejutan. Hilman menelan ludahnya dengan bercampur aduk perasaan. Lidahnya kelu, begitu juga dengan perempuan yang sedang duduk di hadapannya. Himan berusaha rileks meski ia tahu, perempuan telah menangkap basah raut wajahnya penuh dengan syok. “Nina, apa kabar? saya tak mengira ternyata dirimu yang sudah mempersilahkan duduk,” ucapnya dengan mengulum senyum. Senyum yang selalu hanya diberikan pada Nina seorang tak pernah pada perempuan lain.
“Aku baik kak seperti yang kau lihat. Bagaimana denganmu?”
“Alhamdulillah saya baik juga.” Sejenak mereka terdiam. Hilman merasa ada yang aneh dengan perkataan Nina. Kemanakah kata-kata yang dulu yang selalu ia ucapkan jika ditanya kabar? Ia tak pernah melewatkan untuk mengucapkan kalimat hamdalah sebelum mengatakan yang lainnya. “Nina sekarang sibuk apa, kelihatannya kamu tak punya waktu untuk siapapun? Bahkan di tempat seperti ini kamu masih berkutat dengan tab milikmu.” Hilman menccoba mencairkan suasana.
Dengan mengulum senyum Nina menanggapi pertanyaan Hilman. “Aku sibuk dengan duniaku. Kakak gimana?” Nina balik tanya ia tak mau membeberkan detail kegiatannya. Lagi pula Hilman tak berhak untuk mengetahuinya walau sekedar basa-basi.
“Saya juga sibuk dengan dunia saya. Saya rasa kamu tahu tanpa saya jelaskan.” Nina sudah menduga Hilman pasti memiliki kesibukan dengan ayahnya di perusahaan miliknya. Dan ia hanya tersenyum dingin. Hilman merasakan kebekuan lagi di antara mereka.
“Nina, masih suka menulis cerpen?” alih-alih mencairkan suasana.
“Oh, iya masih. Kurasa kakak tak pernah membaca karya fiksi sama seperti dulu.”
Hilman tertawa kecil dengan bahagia, Nina masih saja mengingatnya, “Aku hanya suka tulisan orang yang berada di hadapanku. Lagi pula novel ataupun cerpen hanyalah cerita hayalan. Kamu tahu sendiri saya hanya suka dengan kenyataan,” tukasnya dengan panjang lebar. Nina kecewa namun dengan cerdas ia menyembunyikannya.
“Tidak semua cerpen atau novel semuanya menyajikan imaji ada juga yang diambil dari kisah nyata. Karya fiksi seperti novel, film ataupun yang lainnya sebetulnya mereka merefleksikan kehidupan realita hanya saja...”
“Hanya saja penuh drama bukan?” potong Hilma dengan cepat..
“Ah, memang lelaki kurang peka, hanya mengedepankan logika.” Balas nina dengan ketus. Hilman tertawa nyaring melihat ekspresi Nina nyaris terdengar di seluruh sudut kafe tersebut. Ia terkekeh-kekeh menyaksikan kekesalan Nina. Sudah lama ia tak tertawa lepas sampai saat ini. Nina masih saja kesal dan membiarkan Hilman tertawa sepuasnya. “Hufh katanya suka dengan tulisanku. Apa ia tidak tahu aku sudah merilis novel pertamaku,” gerutunya dalam hati. “Ah, dasar lelaki hanya tukang bual,” tambahnya.
“Nina boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya, silahkan!”
“Nin, Apa kamu sudah punya calon su...”
“Ay, kita pulang! Bunda sudah menunggu. Besok kita harus berangkat ke jerman.” Nina tersenyum simpul pada Hilman. Lalu ia mengikuti jejak langkah laki-laki yang mengajaknya pulang.
“Inikah taqdirku, Tuhan?” jerit Hilman

Bersambung...  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lelah yang Tak Kunjung Sirna, Hempaskan dengan Elegan!

The Importance of English

Still miss your born