Just for You
Oleh: Madhes Ai
Langit rupanya sedang murung atau bungkam melihat kesibukan bumi. Ah, mungkin saja langit ingin menangis menyirami bumi yang sudah mengering karena lama tak terbasuh oleh hujan. Sama seperti langit yang sedang dirundung gelisah, laki-laki yang dikenal sebagai lelaki humoris nampak tak seperti biasanya. Ada hal yang menggelitik benaknya atau tepatnya ia sedang berperang dengan ketakutan yang sudah lama bersemayam dalam dirinya. Dibalik tudung keceriaannya ia simpan trauma yang mendalam akan seorang perempuan yang dulu sempat melukis kehidupannya. Empat tahun lamanya ia ingin bebas dari belenggu rasa bersalah yang tak berkesudahan. Dengan segala cara ia mengatasinya namun tetap saja ketika ia ada niat untuk menjalin suatu hubungan, rasa itu muncul kembali seolah menjadi tameng bagi kehidupannya. Ketakutannya belum jua terkendali penuh.
"Oh, God! What should I do?", lirihnya dalam hati. Matanya tetap fokus pada monitor komputer seolah dirinya tenggelam dalam setumpuk tugas yang harus dikerjakan. Sebetulnya ia juga tak paham betul apa yang sedang dirasakan oleh hatinya, apakah perasaan tersebut benar adanya atau hanya karena ia ingin menyembuhkan traumanya."Bagaimana jika aku menyakitinya seperti yang dulu kulakukan?". Pertanyaan itu selalu muncul ketika ia sedang tertarik pada seorang perempuan yang ia kagumi.
"Hai Naya!" sapa Lina yang duduk tepat di samping Aziz.
"Halo Lina, Aziz. What are you doing bebz?" sapa Naya seperti dengan gayanya sendiri.
"Ah Naya, kau pasti taulah. Apalagi yang kita kerjakan kalau bukan type a report, iya kan Ziz?"
"Ya begitulah." Jawab Aziz sekenanya.
Naya dan Lina saling bertatapan mendengar respon Aziz yang tak seperti biasanya. "Ah, aku tahu!" ucap Lina spontan. Ia menangkap kesan yang lain dari aziz. Ia tahu bahwa Aziz sebetulnya sedang tertarik pada rekan kerjanya yang tak lain adalah teman Lina juga sendiri. Sebetulnya Aziz sudah beberapa kali mencoba mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung ketika ia sedang berkumpul dengan rekan kerjanya. Namun, tak ada respon dari perempuan yang ia kagumi. Di matanya perempuan tersebut terlalu cuek dan dingin. Ia tak mau menanggapi perasaan Aziz.
Matahari sedang dalam perjalanan menuju peradabannya. Hiruk-pikuk kota santri terasa sejuk di sore hari. Meski lalu lalang masih memenuhi jalanan kota. Seperti biasa Naya pulang tepat jam lima setelah selesai dengan tugas yang harus ia kerjakan. "Lin, aku pulang duluan ya?" Ia pergi tanpa ragu. Dan Lina hanya menganggukkan kepalanya.
"Hufh, gak ada kemajuan padahal udah dua minggu!" gerutu Aziz.
"Apaan Ziz? Kemajuan apa, emang kamu dapet tugas baru?" Lina pura-pura gak tahu.
"Temen kamu tuh!" celetuk Aziz dengan ketus.
"Siapa? Naya?"
"Ya, siapa lagi Lina masa Dion?"
"Maksud?"
Dengan kesungguhan hati, ia ceritakan pergulatan batinnya. Berharap menemukan pencerahan sehingga ia tak perlu lagi memasang muka masam di depan publik. "Oh, begitu toh ceritanya!" ucap Lina. "Hmm, sebaiknya kamu jangan sambil bercanda deh. Dia mah orangnya gak gampang percaya. Kalau kita gak ngomong langsung ya dianggapnya angin lalu!" jelas Lina. Aziz hanya terdiam menimang saran Lina.
Pagi di kota debus, begitu bising memekikan telinga. Udaranya tak sesejuk di kota santri. Seperti biasa Naya menyiapkan sarapan untuk orang rumah. Lama sekali ia tak berkunjung ke kota yang sempat menyaksikan kehidupannya dulu. "Kak Naya masak nasi goreng favorit Nada kan?" teriak sepupu Naya. "Iya Nada. Sini, sarapannya sudah siap ni!" Dari ruang tv Nada berlari memburu nasi goreng buatan Naya. Ia rindu akan kebersamaannya dengan Naya seperti dulu. "Kak Naya kenapa harus pindah sih?". Naya hanya tersenyum.
"Oh, hampir saja lupa. aku harus buka email." Naya teringat pesan dari teman kantornya. Dengan segera ia membuka tab miliknya. ia masuk ke akun g.mail. didapatinya email dari salah seorang rekan kerjanya. Naya sempat kebingungan.
Dear, Naya
Nay, aku bukan seorang penyair yang mahir merangkai kata-kata indah. Nay, sebetulnya ada yang ingin kukatakan, tapi aku akui, aku takut untuk mengatakannya sama kamu. Ah, intinya aku tertarik dengan kamu Naya. berkali-kali aku memberikan isyarat tapi kamu gak pernah respon. maaf kalau aku sudah lancang.
"What??" Rasanya tidak mungkin bagi Naya, hal ini terjadi. Namun Naya tetap masih mengunci pintu hatinya untuk siapapun, tak terkecuali Aziz. Apalagi ia belum kenal begitu lama denga dia.
Komentar
Posting Komentar